Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.525 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Kamis (1/4) sore. Mata uang Garuda stagnan dibanding perdagangan Rabu (31/3) sore di level Rp14.525 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.577 per dolar AS atau melemah tipis dibandingkan posisi hari sebelumnya, yakni Rp14.572 per dolar AS.
Sore ini, mayoritas mata uang di kawasan Asia terpantau melemah terhadap dolar AS. Yen Jepang melemah 0,01 persen, dolar Singapura melemah 0,08 persen, dolar Taiwan melemah 0,12 persen, dan won Korea Selatan melemah 0,27 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, rupee India melemah 0,36 persen, yuan China melemah 0,31 persen dan bath Thailand terpantau melemah 0,17 persen. Hanya ringgit Malaysia dan peso Filipina yang menguat masing-masing 0,05 persen dan 0,02 persen.
Sementara itu, mata uang di negara maju juga bergerak melemah terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris melemah 0,06 persen, dolar Kanada melemah 0,14 persen dan franc Swiss melemah 0,25 persen. Sedangkan dolar Australia menguat 0,45 persen.
Analis sekaligus Direktur Utama PT Solid Gold Berjangka Dikki Soetopo menyebut keluarnya modal asing dari pasar obligasi menjadi penyebab tertahannya gerak rupiah pada hari ini. Hal tersebut terlihat dari kenaikan yield atau imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 2 basis poin ke 6,814 persen.
"Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, saat harga turun maka yield akan naik. Begitu juga sebaliknya. Ketika harga turun, artinya terjadi aksi jual yang mensinyalkan capital outflow," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com.
Meski demikian, capital outflow di pasar obligasi tak hanya terjadi hanya hari ini, melainkan telah berlangsung sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sejak awal Januari hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp26 triliun di pasar obligasi.
Naiknya yield obligasi (Treasury) AS masih menjadi pemicu capital outflow di pasar obligasi. Ia mengatakan ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury dan membuat yield-nya naik.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit.
"Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah," tandasnya.