Penduduk dunia memiliki simpanan sebesar US$5,4 triliun atau setara Rp78.300 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) sejak awal pandemi covid-19. Total tabungan seluruh rumah tangga setara 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di dunia hingga Maret 2021 lalu.
Menurut Moody's, seperti dilansir CNN Business, Selasa (20/4), simpanan ekstra itu ditimbun untuk mereka berjaga-jaga dari ledakan pengeluaran rumah tangga.
Adapun, dari total tabungan itu, di antaranya US$2,6 triliun diendapkan masyarakat di Amerika Serikat (AS). Jumlahnya setara 12 persen dari PDB AS. Diikuti oleh Inggris dengan total tabungan mencapai 10 persen dari PDB mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Ekonom Moody's Mark Zandi berharap masyarakat menghabiskan US$2 triliun tabungan mereka untuk mendongkrak perekonomian dunia usai pandemi covid-19 dan pembatasan sosial atau penguncian wilayah (lockdown).
"Kombinasi dari permintaan yang tertahan selama ini dan simpanan berlebih yang melimpah akan mendorong lonjakan belanja konsumen di seluruh dunia, karena negara-negara mendekati kekebalan komunitas (herd community) serta membuka diri," imbuh dia.
Secara umum, lanjut Zandi, kenaikan simpanan tertinggi terjadi di Amerika Utara dan Eropa, di mana kebijakan lockdown didukung pemerintahnya.
Di sisi lain, banyak rumah tangga kaya yang pendapatannya tidak terpengaruh pandemi covid-19 memutuskan menabung ketimbang menghabiskannya untuk perjalanan, hiburan, dan makan di luar.
Faktor kedua lonjakan tabungan tersebut adalah dukungan pemerintah kepada pekerja dan pengusaha yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pada November bahwa pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia telah mengumumkan US$19,5 triliun untuk melindungi ekonomi mereka dari resesi terburuk sejak Great Depression 1929.
Stimulus tersebut telah membayar upah dan menalangi bisnis yang kesulitan, memungkinkan beberapa orang untuk menabung meskipun ekonomi merosot.
"Kami memperkirakan sekitar sepertiga dari tabungan berlebih di dunia akan dihabiskan pada tahun ini, menambahkan lebih dari 2 poin persentase untuk pertumbuhan PDB global," tambah Zandi.
Meski demikian, pengeluaran tersebut juga dapat memicu inflasi yang selama ini dikhawatirkan investor karena bisa memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga.
Terlebih, Indeks Harga Produsen AS, yang mengukur harga jual barang dan jasa, naik 1 persen dalam skala yang disesuaikan secara musiman pada Maret lalu.
Posisi tersebut naik lebih tajam dari bulan sebelumnya serta lebih besar dari perkiraan para ekonom.
Salah satu faktor yang membatasi ledakan pengeluaran lebih besar adalah karena sebagian besar tabungan ekstra di AS berasal dari rumah tangga berpenghasilan tinggi.
"Mereka lebih cenderung memperlakukannya sebagai kekayaan daripada pendapatan, dan karenanya akan menghabiskan lebih sedikit darinya, setidaknya dengan cepat," kata Zandi.
Di AS, mereka yang berusia 55 tahun ke atas memiliki lebih dari 60 persen dari tabungan berlebih, dengan pemilik rumah memegang 90 persen dan tiga perempatnya terkonsentrasi di rumah tangga dengan setidaknya gelar sarjana.
"Semua ini tidak terlalu mengejutkan, tetapi ini adalah pengingat betapa sulitnya pandemi terhadap keuangan kaum muda, penyewa berpenghasilan rendah dengan pendidikan yang lebih rendah, dan betapa anggunnya pemilik rumah berpendidikan berpenghasilan tinggi yang lebih tua dan telah menavigasi secara finansial," tandas Zandi.