Harapan mengantongi uang lebih banyak jelang Lebaran tahun ini seketika sirna dari benak Anto (42 tahun), warga Bandung yang sehari-hari bekerja sebagai sopir bus AKAP rute Bandung-Surabaya. Asanya buyar lantaran pemerintah mengeluarkan larangan mudik lagi pada tahun ini, tepatnya pada 6-17 Mei 2021.
Bahkan, bayangannya kian pahit karena dari pengalaman tahun lalu, pendapatannya turun drastis sampai 70 persen karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan larangan mudik. Sementara, bantuan belum tentu mengalir ke kantong Anto.
"Tahun kemarin itu kami para sopir merugi. Kami tidak dapat bantuan, baik dari pemerintah maupun perusahaan, bantuan hanya sembako dari desa," ujar Anto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (9/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Syarat Perjalanan Mudik dengan Mobil Pribadi |
Kenangan pahit dampak larangan mudik tahun lalu juga masih tersimpan di Sumardi, Ketua Koperasi Karyawan AKAP di Terminal Lintas Pasar Jumat.
"Berat banget rasanya, sudah dua tahun ini larangan mudik. Itu ada 12 hari saya menganggur total, tidak ada dana, bantuan," bagi Sumardi.
Bukan cuma sopir dan karyawan bus, perusahaan juga mengeluh hal yang sama. Apalagi, belum ada hilal rencana pemberian insentif atau kebijakan lain yang bisa meredakan dampak larangan mudik bagi para perusahaan di sektor transportasi.
"Pemerintah mau melarang boleh, tapi tolong akomodir semua efek yang terjadi lewat pelarangan itu," ungkap Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani.
Lihat juga:Syarat Perjalanan Mudik Menggunakan Pesawat |
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet memahami keluhan-keluhan itu. Sebab, tanpa larangan mudik pun, pekerja dan perusahaan transportasi sudah menjadi sektor yang paling babak belur karena terpukul pandemi.
Karena itu, pemerintah sudah sepatutnya memberikan kebijakan insentif bagi sektor transportasi, khususnya bus. "Idealnya transportasi mendapatkan paket bantuan komprehensif. Bantuan ini disalurkan ke beragam lini bisnis transportasi untuk meringankan beban pelaku usaha," ujar Yusuf.
Pertama, perlu keringanan pembayaran pajak yang lebih besar bagi perusahaan dan pekerja di bidang transportasi. Pasalnya, kantong mereka boleh dibilang benar-benar 'cekak' karena larangan mudik.
Apalagi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan sejak awal tahun. Begitu pula dengan mahalnya syarat perjalanan berupa hasil pemeriksaan rapid test antigen atau PCR di beberapa lini transportasi, sehingga semakin membuat masyarakat pikir-pikir untuk menggunakan transportasi umum.
"Diharapkan ada treatment (perlakuan) khusus dari DJP ketika pelaku usaha ini mengajukan insentif pajak," imbuhnya.
Kedua, insentif subsidi listrik juga perlu diperbesar bagi sektor ini. Bayangkan, terminal hingga bandara yang membutuhkan kapasitas listrik besar karena tadinya ramai penumpang, sekarang pun harus tetap hidup meski cuma ada segelintir orang.
"Pelaku usaha bisa diberikan bantuan subsidi listrik dengan jangka waktu terbatas," ucapnya.
Misalnya, pemberian subsidi listrik lebih besar pada momen pengetatan dalam rangka larangan mudik mulai 22 April sampai 5 Mei 2021. Begitu pula saat momen larangan mudiknya, 6-17 Mei 2021.
Subsidi ini juga bisa dalam bentuk lain, misalnya bantuan khusus ke pekerja di sektor transportasi. Artinya, mereka tidak hanya mendapat Program Keluarga Harapan (PKH) atau Kartu Sembako saja, tapi ada subsidi tambahan yang lebih menyasar ke pekerja.
Ketiga, perlu ada penjaminan kredit hingga restrukturisasi kredit bagi perusahaan transportasi. Menurutnya, hal ini perlu agar perusahaan memiliki arus kas yang baik sehingga bisa bernafas.
Sebab, meski mereka tengah 'ngos-ngosan', kewajiban pembayaran gaji hingga tunjangan hari raya (THR) tetap ada. Maka, perlu 'nafas tambahan' pada arus kas perusahaan melalui insentif semacam ini.
"Ini agar usaha bisa tetap jalan," imbuhnya.