Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Supriadi mengaku heran dengan produktivitas industri gula dalam negeri yang terus menurun.
Pada 2020, misalnya, 62 pabrik gula berbasis tebu yang ada di Indonesia hanya mampu menghasilkan 2,1 juta ton gula. Ini berbanding terbalik dengan kondisi 2015 di mana 55 pabrik dapat memproduksi gula hingga mencapai 2,5 juta ton.
"Kami melihat di 2015, produksi gula nasional sebelum adanya penambahan pabrik gula itu bisa mencapai 2,5 juta ton, dan kebetulan gula konsumsi besarnya segitu, sehingga tahun itu menurut saya sudah swasembada," tuturnya dalam webinar bertajuk 'Menjaga Kestabilan Harga Gula Melalui Kebijakan Non-Tarif dan Produktivitas Gula Nasional', Kamis (29/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Harga Gula RI Lebih Mahal dari Pasar Global |
Supriadi menuturkan kondisi tersebut menunjukkan permasalahan dalam tata kelola industri tebu selama ini. Pasalnya, pabrik-pabrik baru yang dibangun selama kurun 2015-2020 harusnya menambah kapasitas produksi menjadi 316.950 tone cane per day (tcd) atau 3,5 juta ton per tahun.
"Kenapa dengan penambahan 7 pabrik gula yang berbasis tebu dengan investasi cukup besar, malah produksi 2020 turun jadi 2,1 juta ton. Ini kan ada sesuatu, ada something di situ. Ada permasalahan," ucapnya.
Menurut Supriadi, salah satu masalah seretnya produktivitas pabrik-pabrik tersebut adalah tidak ada penambahan lahan tebu baru. Hal ini membuat bahan baku berkurang sehingga harus impor.
"Padahal kan tugas pabrik gula berbasis tebu itu mengembangkan perkebunan tebunya untuk memenuhi bahan baku pabrik gula tersebut sehingga produksi meningkat," imbuhnya.
Belum lagi, masalah turunnya kualitas tebu yang dihasilkan dari lahan-lahan yang dikelola pabrik-pabrik tersebut.
"Tahun lalu saja yang biasanya di Jawa Timur, Jawa Tengah Jateng rendemen bisa 8 bahkan 10, 2020 hanya sekitar 7 persen rendemennya," pungkasnya.