ANALISIS

Urgensi Penyelamatan Garuda Indonesia dari Ujung Tanduk

CNN Indonesia
Rabu, 02 Jun 2021 06:46 WIB
Pengamat menilai maskapai Garuda Indonesia perlu diselamatkan dari kebangkrutan karena membawa bendera nasional yang tidak hanya bertugas demi tujuan komersial.
Pengamat menilai opsi penyelamatan keuangan Garuda Indonesia yang paling rasional adalah dengan menyuntikkan modal. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/AMPELSA).

Akan tetapi, Toto menilai empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia yang tercantum dalam dokumen Kementerian BUMN tersebut belum mendesak untuk dieksekusi. Pertimbangannya, ada skema penyelamatan yang sudah dirancang oleh pemerintah tetapi belum direalisasikan sepenuhnya maupun upaya dari internal perseroan yang tengah berjalan.

"Jadi kalau skema ini saja belum jalan, bagaimana nanti ngomong skema-skema yang lain, itu saja dijalankan dulu," tuturnya.

Skema yang dimaksud adalah dana talangan dari pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp8,5 triliun. Rencananya, pencairan dana talangan itu akan dilakukan melalui penerbitan obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB) lewat PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum merincikan berapa besar dana talangan yang cair guna membantu Garuda Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertanyannya, ini disbursement-nya (realisasi) kapan? Kalau sudah ada komitmen dari pemerintah lewat SMI, kemudian program pencairan modal kerja lewat SMI ini kapan mulai dijalankan, karena yang saya dengar itu agak terhambat," ucapnya.

Selain itu, ia menilai sejumlah alternatif yang dilakukan oleh perseroan sudah berada dalam jalur yang benar. Meliputi, negosiasi komersial dengan pihak lessor (pemberi sewa) pesawat, negosiasi dengan sejumlah produsen pesawat seperti Boeing dan Airbus untuk menunda pengiriman pesawat, hingga melakukan restrukturisasi pinjaman salah satunya perpanjangan sukuk senilai US$500 juta yang seharusnya jatuh tempo 3 Juni 2020 menjadi 3 Juni 2023.

Perseroan juga tengah berupaya mengurangi beban operasional lewat program pensiun dini dan mendorong diversifikasi pendapatan dari bisnis kargo. Ia meyakini sejumlah alternatif tersebut mampu meringankan beban perseroan sembari menunggu pandemi covid-19 terkendali.

Toto menegaskan bahwa Garuda Indonesia hanya mampu mengendalikan faktor internal namun penanganan pandemi yang mempengaruhi permintaan penumpang tetap harus dilakukan bersama oleh semua pihak.

"Apabila masih kurang maka eksisting investor strategis harus diminta setor dana baru. Kalau masih kurang juga perlu dilakukan upaya menarik investor strategis yang lain. Mudah-mudahan di 2022 vaksinasi sudah memberi hasil optimal sehingga bisnis airlines bisa pulih kembali," ujarnya.

Suntik Modal

Senada, Pengamat BUMN sekaligus Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Danang Widoyoko menuturkan Garuda Indonesia harus diselamatkan karena perseroan menjalankan kewajiban pelayanan publik.

"Opsi membiarkan dilepas begitu saja sangat sulit karena pelayanan publik hilang dan praktis tidak ada pemain yang bisa gantikan dalam waktu segera, itu yang menjadi persoalan, itu yang saya kira tidak mungkin," ujarnya.

Menurutnya, opsi penyelamatan yang paling rasional adalah dengan menyuntikkan ekuitas. Namun, konsekuensinya bisa saja Garuda Indonesia menjadi perusahaan tertutup tidak lagi Tbk, sehingga sahamnya dihapuskan (delisting) dari pasar modal. Sebab, lewat penyuntikkan ekuitas itu pemerintah akan menambah kepemilikan sahamnya.

"Pemerintah semacam right issue karena memasukkan modal, itu konsekuensinya Garuda Indonesia pada akhirnya akan menjadi perusahaan delisting, tertutup bukan Tbk lgi karena jadi full milik pemerintah," tuturnya.

Opsi memungkinkan lainnya adalah membentuk perusahaan baru meskipun konsekuensinya posisi Garuda Indonesia sebagai flag carrier digantikan oleh entitas anyar itu.

Risikonya, kata dia, bisa saja terjadi penurunan kualitas layanan penumpang karena perusahaan dirintis dari nol sehingga membutuhkan penyusunan ulang SOP, pengadaan pesawat, perekrutan SDM baru, dan sebagainya.

Menurutnya, apapun skema penyelamatan Garuda Indonesia yang diambil, pemerintah hendaknya mempertimbangkan nilai yang paling ekonomis. Mengingat kondisi keuangan negara juga terhimpit pandemi covid-19.

"Pada akhirnya bergantung pada hitungan ekonominya, saya kira pemerintah harus membuat kalkulasi yang independen dan rasional dalam menghitung angkanya, kira-kira menguntungkan mana dari dua opsi tersebut," ucapnya.

Akan tetapi, ia sepakat dengan Toto bahwa dibutuhkan penanganan dalam jangka pendek untuk menyelamatkan maskapai pelat merah itu. Solusi jangka pendek yang dimaksud adalah seperti yang ditempuh perseroan saat ini mulai dari negosiasi utang dengan debitur, negosiasi dengan lessor, pembatalan dan penundaan kontrak pengadaan pesawat, hingga mengurangi belanja operasional.



(ulf/sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER