Tak hanya sembako, pemerintah juga berencana memungut PPN pada jasa pendidikan. Sebelumnya, jasa pendidikan alias sekolah masuk kategori jasa bebas PPN.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai wacana kebijakan ini merupakan wujud nyata komersialisasi pendidikan.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menuturkan, ada dua bentuk layanan pendidikan di Indonesia, yakni lembaga pendidikan formal (sekolah dan madrasah) dan lembaga pendidikan non-formal (tempat kursus, bimbingan belajar, dan lain-lain).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kedua-duanya dipajaki ini pasti wujud nyata komersialisasi pendidikan," katanya.
Tak hanya itu, Satriawan juga menilai bahwa pemungutan pajak ini bakal bertentangan dengan Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimum 20 persen dari APBN dan APBD untuk anggaran pendidikan.
Sementara itu, BEM SI juga menolak rencana kebijakan PPN sekolah ini karena sejumlah alasan. Salah satunya, kebijakan dinilai berpotensi membuat biaya sekolah bagi warga semakin mahal di Indonesia.
Koordinator Pusat BEM SI, Nofrian Fadil Akbar menuturkan, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan membuat makin banyak warga yang putus sekolah.
"Kita lihat pendidikan akan makin mahal. Dan tentunya bisa terjadi banyak yang putus sekolah bisa terjadi dan segala macam dampak lainnya," ucap Fadil.
Sementara itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta pemerintah dan DPR agar mengkaji ulang wacana ini. Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI, Dudung Abdul Qodir menilai, pemungutan pajak pada layanan pendidikan bukan hanya merugikan pengelola pendidikan, namun juga masyarakat.
"PGRI meminta pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang [kebijakan ini]. Karena dengan kondisi Covid-19 ini, teman-teman swasta, mulai PAUD sampai perguruan tinggi dalam suasana berjuang, suasana sulit," kata Dudung.
![]() |
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menolak rencana pemerintah memungut PPN dari sekolah atau jasa pendidikan. PBNU meminta pemerintah mencari formula lain untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.
Hal ini berkaitan dengan salah satu amanat konstitusi RI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karenanya, pemerintah tidak boleh sampai menghambat akses warga terhadap pendidikan.
"Siapa pun memiliki hak untuk dapat mengakses pendidikan. Maka, harapan bagi terwujudnya education for all [pendidikan untuk semua] adalah suatu keniscayaan," kata kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini.
Sementara itu, mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI turut menolak rencana pemerintah ini. Tercatat, sejauh ini ada tujuh dari sembilan fraksi di DPR RI telah menyatakan penolakan.
Mereka adalah F-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), F-Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), F-Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), F-Partai Keadilan Sejahtera (PKS), F-Partai Golongan Karya (Golkar), serta F-Partai NasDem, dan F-Demokrat.
(dis/asr)