Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan secara umum perekonomian di DKI Jakarta seperti provinsi lainnya mengalami kontraksi akibat pandemi. Pada kuartal II 2020, ekonomi ibu kota mengalami kontraksi 3,82 persen (yoy).
Lalu, ekonomi mulai membaik pada kuartal IV 2020 yakni minus 2,14 persen, sehingga sepanjang 2020 perekonomian ibu kota minus 2,36 persen.
Tekanan ekonomi, kata dia, bermuara pada pendapatan dan daya beli masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Tak pelak, hal ini mendorong tingkat kemiskinan di ibu kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk beberapa kelompok golongan, terbatasnya aktivitas ekonomi ini akhirnya berdampak terhadap pendapatan yang mereka hasilkan. Kelompok pekerja di sektor UMKM dan pedagang eceran kaki lima kehilangan pendapatan dari kebijakan yang harus ditempuh pemerintah untuk menekan pandemi," ujar Yusuf.
Meski meningkat pada 2020, angka kemiskinan DKI Jakarta sebetulnya tergolong stagnan, setidaknya dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin di ibu kota tercatat sebanyak 363,42 ribu. BPS melaporkan angka itu setara dengan 3,75 persen dari total penduduk ibu kota.
Selama tiga tahun hingga Maret 2014, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta bertahan pada rentang 354,19 ribu hingga 393,98 ribu orang. Sementara, persentase penduduk miskin di rentang 3,55 persen hingga 3,92 persen dari total penduduk. Tren jumlah penduduk miskin naik turun, namun angkanya tidak naik atau turun tajam.
Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta melampaui 300 ribuan pada September 2014, tepatnya 412,79 ribu orang. Jumlah itu setara dengan 4,09 persen dari total penduduk, atau meninggalkan tingkat kemiskinan 3 persenan dalam tiga tahun ke belakang.
Namun, pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin bisa ditekan 13,87 ribu atau turun 0,16 persen menjadi 398,92 ribu. Angka itu setara dengan 3,93 persen dari total penduduk DKI Jakarta.
Berkurangnya jumlah penduduk miskin di ibu kota berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Jumlah penduduk miskin di ibu kota kembali pada rentang 368,67 ribu - 398,92 ribu orang sejak Maret 2015 hingga September 2018. Angka itu setara dengan 3,61 persen-3,93 persen dari total penduduk.
Pada 2019, merupakan periode dimana tingkat kemiskinan mencapai posisi terendah dalam sepuluh tahun terakhir. BPS mencatat jumlah penduduk miskin di ibu kota mencapai 365,55 ribu orang, atau 3,47 persen dari total penduduk. Enam bulan kemudian, jumlah penduduk miskin kembali berkurang menjadi 362,30 ribu orang, atau 3,42 persen.
![]() |
Sayangnya, setelah berhasil ditekan jumlah penduduk miskin di ibu kota kembali naik pada 2020 akibat Covid-19.
"Tingkat kemiskinan di DKI Jakarta stagnan saja. Penduduk miskin mereka umumnya tinggal di daerah pinggiran, slum area (daerah kumuh), kerja di sektor informal, dan pekerja pada sektor pekerjaan yang upahnya di bawah UMR," jelasnya.
Ia menuturkan penyebab tingkat kemiskinan di DKI Jakarta cenderung stagnan adalah jenis penanganan kemiskinan yang sifatnya hanya menahan laju, belum mengurangi. Selama ini, pemerintah menggelontorkan bantuan sosial (bansos) pada penduduk miskin namun belum menciptakan lapangan kerja yang bisa membuat pekerja informal naik kelas menjadi pekerja formal.
"Kalau bansos penduduk miskin akan seperti itu terus, tidak menciptakan pendapatan. Akhirnya, mereka susah keluar dari garis kemiskinan," jelasnya.
Selain itu, kemiskinan di DKI Jakarta bersifat struktural, atau disebabkan oleh keterbatasan akses pada pendidikan layak dan mata pencaharian tetap. Tak ayal, angka kemiskinan di DKI Jakarta cenderung stagnan namun sulit untuk ditekan secara signifikan.
"Penurunannya tidak bisa drastis karena sifat kemiskinannya struktural, sehingga pengentasan kemiskinan jauh lebih sulit. Bisa saja kemiskinan itu pada level kronis misalnya orang tua jompo, pendidikan rendah, penduduk daerah slum, tidak memiliki pekerjaan layak, dan sebagainya," tuturnya.
Yusuf menambahkan jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta belum bisa ditekan secara signifikan karena kebijakan pengentasan kemiskinan masih terbatas dalam bentuk program dari pemerintah pusat. Misalnya, bansos sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya.
"Tapi, yang tidak boleh dilupakan kebijakan pemerintah pusat ini seharusnya dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat sendiri, sehingga masyarakat punya pilihan untuk bisa menaikkan kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik," katanya.
Tak hanya itu, kemiskinan di DKI Jakarta bertambah akibat arus urbanisasi. Yusuf menuturkan tidak semua penduduk yang mengadu nasib dari daerah ke DKI Jakarta memiliki kemampuan bertahan di ibu kota. Imbasnya, mereka justru terjebak dengan kemiskinan karena pendapatan yang tidak bisa mengimbangi mahalnya biaya hidup di ibu kota.
"Tentu kita tidak bisa menyalahkan masyarakat secara luas karena permasalahannya kompleks, artinya belum bicara mengenai pemerataan ekonomi di daerah, yang kemudian menjadi rumit. Tetapi kalau ditanya penyebab angka kemiskinan, salah satunya dipengaruhi oleh arus urbanisasi," ujarnya.