ANALISIS

Ancaman Krisis di Balik Tumpukan Utang Negara saat Pandemi

Hendra Friana | CNN Indonesia
Kamis, 24 Jun 2021 07:00 WIB
Ekonom menilai rapor merah soal pengelolaan utang negara yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Ekonom menilai tingginya kebutuhan negara akan utang tak lepas dari rendahnya penerimaan pajak saat pandemi. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma).

Pajak Seret

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Rendy Yusuf Manilet mengatakan apa yang disampaikan BPK sebenarnya tak bisa dilepaskan dari rendahnya penerimaan pajak bahkan sejak sebelum pandemi covid-19.

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp459,6 triliun per Mei 2021. Angka itu memang naik 3,4 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp444,6 triliun. Namun, jika dibandingkan penerimaan pajak Mei 2019, Rp496,65 triliun, angkanya turun 7,4 persen.

Hal ini juga terkait dengan kurang optimalnya penggunaan utang sebagai stimulus yang dapat memulihkan perekonomian dan memompa penerimaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemampuan pemerintah dalam mendesain belanja yang belum terlalu optimal, saya kira ini menjadi semacam kesimpulan BPK. Mereka khawatir tidak hanya dalam kemampuan pembayaran tapi dalam penggunaan utang itu sendiri," tuturnya.

Namun ia berpandangan peningkatan rasio utang pemerintah baik terhadap PDB maupun penerimaan negara masih cukup wajar di tengah kondisi pandemi covid-19. Potensi gagal bayar juga masih sangat jauh sebab pengelolaan utang, dilihat dari penilaian yang dikeluarkan sejumlah lembaga pemeringkat utang, masih cenderung positif.


"Saya kira ini yang kemudian menjadi semacam kabar baik di tengah peningkatan utang pemerintah. Gagal bayar kecil kemungkinan akan terjadi," jelasnya.

Sepakat dengan Yustinus, Rendy juga menilai pembiayaan APBN dengan skema burden sharing dengan BI cukup membantu pemerintah dalam menjaga risiko beban utang di tengah pandemi covid-19.

Bahkan, menurutnya, masih ada ruang bagi BI untuk melanjutkan kebijakan akomodatif tersebut di tahun berikutnya agar pemerintah tak perlu menanggung utang dengan bunga tinggi.

"Dulu sempat ada kekhawatiran kalau Bi ikut burden sharing akan kehilangan dan ada kekhawatiran bisa memicu inflasi karena ikut menambah likuiditas di dalam negeri. Ternyata kalau itu lihat tahun lalu itu tidak terjadi, inflasi malah justru rendah. BI juga tetap independen dalam kebijakan mereka," tandasnya.



(sfr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER