Kasus penularan covid-19Â melonjak sejak awal Juni 2021. Penambahan kasus rata-rata mencapai lebih dari 10 ribu setiap harinya.
Pada Selasa (22/6) kemarin, data menunjukkan total kasus positif covid-19 tembus 2.018.113 sejak pertama kali diumumkan pada awal Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tambahan kasus positif covid-19 menembus rekor tertinggi pada 21 Juni kemarin, yakni 14.536 kasus.
Pemerintah sendiri telah mengalokasikan dana sebesar Rp699,43 triliun untuk anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan penanganan covid-19 tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar dana tersebut mengucur ke sektor kesehatan, Rp172,84 triliun. Dana tersebut sudah terealisasi sebesar Rp39,55 triliun hingga 18 Juni 2021. Angkanya setara dengan 22,9 persen dari pagu yang ditetapkan.
Sisanya, pemerintah mengalokasikan dana tersebut untuk bidang perlindungan sosial, dukungan UMKM dan korporasi, program prioritas, dan insentif usaha.
Lantas, apakah sebenarnya dana sebesar Rp172,84 triliun ini cukup untuk menopang lonjakan covid-19?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan alokasi dana untuk bidang kesehatan dalam anggaran PEN tak cukup untuk menanggulangi lonjakan covid-19. Pasalnya, pengajuan klaim untuk perawatan pasien covid-19 otomatis akan meningkat tajam.
Dengan demikian, dana yang sebelumnya disiapkan pemerintah berpotensi jebol. Jika tak ditambah, maka siap-siap pencairan dana atas klaim pasien covid-19 akan mandek.
"Perlu ditambah (anggaran kesehatan) karena kasus covid-19 meningkat. Jadi butuh anggaran lebih besar," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/6).
Menurutnya, pemerintah perlu menambah 40 persen anggaran PEN untuk bidang kesehatan. Jika pemerintah mengalokasikan dana Rp172 triliun, berarti perlu ditambah sekitar Rp68 triliun.
Dengan demikian, total anggaran PEN untuk bidang kesehatan menjadi Rp240,8 triliun. Namun, Bhima berpendapat bukan cuma anggaran bidang kesehatan yang naik, tapi juga perlindungan sosial.
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp148,27 triliun untuk perlindungan sosial. Realisasinya sampai 18 Juni 2021 baru Rp64,91 triliun atau 43,8 persen dari pagu.
"Perlindungan sosial terlalu kecil Rp148 triliun. Ruang untuk menaikkan menjadi 35 persen minimal masih ada sebenarnya," ungkap Bhima.
Jika anggaran perlindungan sosial naik 35 persen, maka harus ada kenaikan sebesar Rp51,89 triliun. Artinya, dana untuk bidang tersebut bertambah menjadi Rp200,16 triliun.
Secara keseluruhan, Bhima memandang anggaran PEN 2021 harus naik minimal menjadi Rp1.000 triliun-Rp1.200 triliun. Dana ini juga untuk mengantisipasi skenario pembatasan sosial yang ketat alias lockdown.
Baca juga:3 Ciri Pinjol Ilegal |
Pemerintah, sambungnya, 'sangat' memiliki kemampuan untuk menambah saldo di anggaran PEN. Ini hanya soal mau atau tidak mau.
Menurut Bhima, pemerintah bisa merealokasi anggaran yang selama ini digunakan untuk mengobral insentif pajak ke dunia usaha. Untuk itu, pemerintah lebih baik mengkaji lebih detail insentif mana saja yang bersifat urgensi untuk diberikan dan mana yang tidak.
"Karena ini menggerus penerimaan pajak. Obral pajak harus dihentikan, evaluasi yang tidak tepat sasaran," ujar Bhima.
Selain itu, pemerintah juga bisa merealokasi anggaran infrastruktur pada 2021 yang sekitar Rp400 triliun untuk PEN. Jumlahnya cukup besar untuk menambah anggaran PEN di bidang kesehatan dan perlindungan sosial.
Baca juga:Kadin Imbau WFH 75 Persen Mulai Hari Ini |
"Setop dulu infrastruktur. Fokus realokasi ke kesehatan dan perlindungan sosial," imbuh Bhima.
Bukan cuma itu, pemerintah juga bisa memangkas gaji di level presiden dan pejabat publik. Misalnya, beberapa tunjangannya dihapus sementara dan uangnya dialihkan untuk penanganan covid-19.
"Bahkan kalau perlu Presiden berikan contoh tiga bulan tidak terima gaji dan tunjangan," terang Bhima.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi sepakat dengan Bhima. Pemerintah harus menaikkan anggaran untuk kesehatan.
Namun, sifatnya bukan realokasi dari anggaran PEN yang sudah dialokasikan untuk bidang lain, seperti perlindungan sosial, dukungan UMKM dan korporasi, program prioritas, serta insentif usaha.
"Bukan realokasi, tapi memang ditambah untuk sektor kesehatan. Jangan realokasi karena sektor lain kan butuh juga," terang Fithra.
Menurutnya, tak masalah pemerintah menambah belanja dan defisit anggaran membengkak. Pasalnya, hal ini juga dilakukan di negara lain dalam menangani pandemi covid-19.
"Defisit naik tidak apa-apa, utang bertambah, kan memang beban utang pasti naik. Dengan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tidak apa-apa defisit di atas 3 persen, jadi tidak masalah," ungkap Fithra.
Diketahui, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp219 triliun per akhir Mei 2021. Angkanya setara dengan 1,32 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Realisasi defisit APBN ini melebar dari posisi April 2021 lalu yang sebesar Rp138,1 triliun. Saat itu, angka defisit masih setara 0,83 persen dari PDB nasional.
Cek realisasi penggunaan anggaran PEN pada halaman berikutnya.