Warga Desa Keliwumbu, Kecamatan Morolole Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur mengalami perubahan dalam memasak. Bila sebelumnya memakai minyak tanah atau kayu bakar untuk memasak, kini mereka mulai memakai pelet dari hasil olahan sampah biomassa.
Warga senang karena memasak menggunakan pelet kini jadi lebih hemat ketimbang minyak tanah atau kayu bakar. Dengan memakai pelet, mereka juga sekaligus dapat menjaga kebersihan lingkungan serta mengurangi emisi karbon.
Tak hanya itu, pelet dari Desa Keliwumbu juga telah dimanfaatkan untuk co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara untuk bahan bakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Ropa yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Desa Keliwumbu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stefanus Retang, salah satu anggota pengolahan sampah Desa Keliwumbu, sangat antusias menyambut kehadiran pengolahan sampah di desanya. Apalagi olahan sampah ini bisa menjadi solusi untuk energi hijau
"Sejak Desember 2020 di desa saya telah dibangun tempat pengolahan sampah. Saya dan teman-teman sangat antusias membantu tim PLN untuk segera membangun pengolahan sampah," katanya.
Bagi Stefanus kehadiran pengolahan sampah benar-benar membawa angin segar yang sangat dibutuhkan warga. Pengolahan sampah menjadi solusi paling jitu mengatasi krisis energi di desanya.
Selama ini, jelas Stefanus, warga desa Keliwumbu memakai banyak kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Belum lagi harga minyak tanah yang cukup mahal di desanya.
"Kami mesti membeli satu jerigen isi 5 liter itu Rp35.000 (Rp7.000 per liter) dan setiap bulannya kami bisa menghabiskan biaya Rp200 ribu sampai Rp700 ribu. Malah, bila sedang langka harganya bisa mencapai Rp10 ribu per liter. Sejak memakai pelet jadi jauh lebih hemat," jelasnya.
Sejak PLN hadir di desanya, Stefanus dan 7 rekannya menjadi pengelola pengolahan sampah dan mendapat pelatihan untuk pembuatan pelet dengan memanfaatkan sampah biomassa. Di antaranya sampah rumah tangga dan rumput yang memang melimpah di wilayahnya.
Tak hanya itu, para warga di sini sekarang memanfaatkan sampah biomassa yang sebelumnya terbuang sia-sia. Mereka bisa mengumpulkan sampah rumah tangga, sisa pertanian, perkebunan, dan lainnya.
"Pastinya kami tidak menebang pohon. Para warga desa perlahan mulai menyadari manfaat sampah dan kami juga lebih peduli pada lingkungan sekitar kami. Ada banyak manfaat yang sangat berguna dari sampah," tambahnya.
Dalam satu hari total sampah yang dihasilkan sebanyak 5 ton, yang jika diolah melalui proses peletisasi dengan konsep pengolahan sampah, maka dari sampah segar ini menyusut menjadi 2 ton.
"Pelet yang dihasilkan sebanyak 80 persen diserap untuk bahan bakar pembangkit PLTU Ropa dan 20 persen untuk kebutuhan memasak warga," ungkapnya.
Saat ini pemakaian pelet pada warga memang terkendala pada kompor. Namun, sekali lagi PLN telah punya solusi. PLN kinitengah mengembangkan kompor buatan SMK Negeri 2 Ende.
Mereka dilatih PLN membuat kompor pelet dengan teknik downdraft gasification jadi gasifikasi kompor (gasification stove). Kompor ini juga akan diluncurkan pada Jumat (25/6) bersamaan dengan acara Launching Continuous Firing Run. Bupati Ende pun akan memberikan kompor gratis untuk 35 kepala keluarga (KK) di desa Keliwumbu.
Tak hanya itu, PLN juga telah melatih pengrajin ke desa keramik yang berhasil membuat kompor pelet dari tanah liat yang lebih murah.
"Karena akan percuma kalau ada pelet tetapi warga tidak dapat memakainya karena tidak ada kompor. Semakin banyak warga yang memakai kompor pelet ini, maka warga banyak terbantu," ungkapnya.
![]() |
Efek Domino
Masalah ketersediaan energi yang terjangkau menjadi salah satu pemicu angka kemiskinan di wilayah NTT. Kehadiran shelter pengolahan sampah sejak Desember 2020 di Desa Keliwumbu menjadi solusi jitu untuk menyediakan energi bersih pengganti minyak tanah warga.
Manager PLN UPK Flores, Lambok Renaldo Siregar menjelaskan, tujuan awal PLN membangun pengolahan sampah di Desa Keliwumbu adalah untuk membantu mengelola sampah biomassa menjadi pelet. Pelet tersebut lalu dijadikan bahan bakar pengganti di PLTU Ropa.
"Namun ternyata dari hasil penelitian kami menemukan kalau pelet sampah yang kita hasilkan sangat bermanfaat untuk masyarakat. Sehingga kami uji coba dan ternyata pelet itu bisa dipakai untuk memasak. Dan juga lebih bersih karena menggunakan teknologi gasifier," terangnya.
Bersama Pemkab Ende, PLN menyederhanakan program co-firing untuk mendorong ketersediaan energi untuk rakyat.
"Jadi, secara tidak langsung kita juga membantu pemerintah untuk menurunkan jumlah subsidi minyak tanah. Bupati Ende ambisinya agar pada tahun 2030 di NTT itu subsidi bahan bakar minyak tanah itu bisa turun 50 persen," ungkap dia.
Dengan penggunaan pelet diharapkan bisa membantu meningkatkan kesejahteraan warga setempat. Jika daya beli masyarakat membaik tentu saja pertumbuhan penjualan listrik juga bisa terdongkrak.
"Kami sudah hitung selisih BPP (Biaya Pokok Produksi) dengan pemakaian pelet itu sekitar Rp 130 juta per tahun. Tetapi dengan tumbuhnya UMKM, pembuatan pelet, produksi kompor maka penjualan listrik PLN bisa meningkat mencapai Rp 2,1 miliar," ungkap Lambok.
Kearifan Lokal
Selain itu, jelas Lambok, ada nilai budaya atau kepercayaan masyarakat di kabupaten Ende ini tentang api. Api bagi warga Ende memiliki makna mandalam bahkan menjadi simbol kehidupan.
Api merupakan sumber kekuatan yang mampu mengusir roh jahat. Tak hanya itu, api juga dipandang sebagai simbol kejayaan dan kerja keras (gotong royong).
"Bahkan api adalah simbol dari musyawarah untuk mufakat di mana api dapat memberikan kehangatan di tengah dinginnya suasana musyawarah. Sehingga mosalaki selaku pemimpin adat dapat menyelesaikan permasalahan sedang dihadapi masyarakat," jelas Lambok.
Terkait dengan pengolahan sampah, Lambok melanjutkan, adanya budaya tentang 'api' yang berwarna merah inilah yang menjadi 'penyambung" komunikasi dan edukasi pengolahan sampah, Ende. Karena bagi masyarakat Ende 'api' merupakan salah satu sumber kehidupan.
![]() |
Eduwisata
Dalam pengembangan pengolahan sampah, di Desa Keliwumbu ini, muncul gagasan untuk membuka eduwisata. Kata Lambok, Eduwisata merupakan program gabungan antara edukasi dan wisata yang dikemas menjadi satu untuk menjual inovasi-inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat kurang mampu.
Jadi para pengunjung bisa datang untuk melihat dan belajar langsung tentang proses pengolahan sampah. Tak hanya itu, peserta dapat ke PLTU Ropa, melihat pembuatan kompor buatan SMK Negeri Ende, kunjungan ke ACIL yang mengolah sampah kantong-kantong plastik kresek untuk dibuat menjadi sofa, batako, dan paving block.
Eduwisata ini juga akan diluncurkan besok, ditandai dengan kunjungan batch pertama bersamaan dengan launching continuous firing run.
"Pelaksanakan eduwisata yang dilaksanakan 4 hari ke depan dan hanya bisa dibatasi 15 peserta. Tentu saja kami melaksanakan protokol kesehatan yang ketat," ucapnya.
Adapun keunikan pengolahan sampah di Kabupaten Ende ini menjadikan Ende kabupaten pertama di Indonesia yang melaksanakan program pengolahan sampah secara lengkap.
Lambok menambahkan, sampah merupakan isu dunia dan belum ada satu teknologi yang benar-benar universal dapat membersihkan sampah secara menyeluruh. Selama satu tahun pengolahan sampah, PLN mampu mensinergikan semua komponen daerah Ende untuk mengolah sampah menjadi produk kreatif dan menjadi energi kerakyatan.
"Kami terbuka untuk daerah yang ingin mereplika konsep ini silakan berkunjung ke Ende dan belajar langsung," terang Lambok.
(osc)