Dihubungi terpisah, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan tumpukan utang jika dibiarkan bisa memicu krisis ekonomi bagi Tanah Air. Ibarat bom waktu, ia menuturkan kondisi Indonesia sudah rentan sehingga tinggal menunggu faktor pemicunya.
"Rentan sih sudah lama, tapi belum terjadi pemicu yang serius, kalau ekonomi rentan bisa bertahan sebulan, setahun, dua tahun, tiga tahun. Namun, bertahan bukan berarti dalam kondisi baik, tinggal tunggu pemicu saja seperti ekonomi AS pada 2007-2008 krisis finansial global, itu sudah akumulasi dari beberapa tahun sebelumnya, tunggu pemicu, ini juga tinggal pemicu," jelasnya.
Menurutnya, pemicu krisis ekonomi yang membayangi Indonesia adalah dari sisi moneter, yakni aliran modal asing keluar (capital outflow). Capital outflow ini disebabkan berkurangnya kepercayaan asing terhadap kondisi fiskal Indonesia, yang ditopang oleh utang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini mengakibatkan nanti bisa terjadi devisa keluar, outflow. Investor sudah tidak mau masuk dulu karena melihat fiskalnya ini dalam keadaan krisis ditopang utang menumpuk terus. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi masuk krisis dan bahkan lebih parah karena diikuti krisis moneter dimana rupiah akan tertekan dan ekonomi tergelincir," katanya.
Selain faktor domestik, aliran modal keluar bisa dipicu oleh pulihnya perekonomian negara maju seperti AS. Kondisi ini ditandai dengan perbaikan sejumlah indikator seperti inflasi, indeks manufaktur, angka pengangguran, dan sebagainya.
Pada Mei 2021 lalu, inflasi AS menembus angka 5 persen, atau lebih tinggi dari target bank sentral AS, The Fed yakni 2 persen.
"Kalau ekonomi AS dan negara maju lain membaik, inflasi cukup tinggi sehingga quantitative easing disetop itu akan terjadi arus balik capital ke sana," jelasnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menambahkan risiko utang menumpuk adalah penjualan aset negara untuk menaikkan pendapatan. Dengan kenaikan pendapatan negara, maka pemerintah bisa melakukan belanja, salah satunya membayar cicilan utang.
"Kalau kemudian bisa menjual (aset) itu bisa terjadi kalau kemudian kita tidak punya uangnya. Katakanlah, situasi susah tapi harus bayar utang, dipajakin juga susah, bisa jadi ada yang dijual, tapi tentu saja itu tergantung situasinya," ujarnya.
Ia mengatakan kondisi itu pernah terjadi pada 2002 lalu ketika Indonesia melepas kepemilikan mayoritas saham PT Indosat Ooredoo Tbk, yang dulunya bernama PT Indosat Tbk.
""Dulu, Indosat ketika menjual BUMN itu memang tidak disebutkan untuk bayar utang, memang tidak secara eksplisit. Tapi, memang di APBN itu kan tidak ada namanya earmark kalau uang ini dipakai untuk apa, bayar utang atau belanja apa," ujarnya.
Saat itu, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri membutuhkan dana untuk menutup defisit anggaran yang mencapai Rp27 triliun atau 1,6 persen dari PDB karena imbas krisis keuangan 1998. Privatisasi BUMN diharapkan bisa memberikan sedikit sumbangan untuk meringankan defisit APBN.
Prinsipnya semua pendapatan didapatkan dari APBN lalu semua pengeluaran dikeluarkan dari APBN, tapi berarti beberapa yang kita dapatkan itu adalah dari menjual BUMN kemudian diantara belanjanya adalah untuk bayar utang," jelasnya.
Sebagai gambaran, nilai Barang Milik Negara (BMN) yang merupakan aset negara mencapai Rp5.949,9 triliun pada tahun lalu. Angka itu berdasarkan audit oleh BPK RI yang menyebabkan peningkatan nilai aset tetap dalam neraca LKPP dari sebelumnya Rp1.931,1 triliun.
Namun, ia berpandangan negara tidak akan mengalami kebangkrutan akibat utang. Pasalnya, sebagian besar utang tersebut sifatnya jangka panjang sehingga Indonesia tidak mengalami gagal bayar utang.
"Utang ini sebagian besar jangka panjang, jadi tidak langsung sekarang (bayar) terus bangkrut, tidak juga," katanya.
Selain itu, mayoritas utang adalah utang pemerintah. Sementara, pemerintah punya kewenangan dan kekuasan untuk mengelola sumber daya, termasuk aset negara. Salah satunya, dengan menjual aset negara seperti yang terjadi pada Indosat.
"Dilihat dari sudut pandang pemerintah itu ada banyak hal yang bisa tanda petik digadaikan untuk tunjukkan kita tidak bangkrut," ujarnya.
Secara terpisah, Staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menerangkan proyeksi rasio utang publik Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Hal ini berdasarkan ramalan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
"Proyeksi utang publik (Indonesia) rendah," ucap Yustinus dalam Diskusi MEK PP Muhammadiyah: Tafsir Keadilan dalam Rancangan Tarif PPN, kemarin.
Yustinus menjelaskan proyeksi IMF menunjukkan utang publik Indonesia naik sekitar 8 persen menjadi 38,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2020.
Namun, angka itu masih lebih rendah dibandingkan utang publik negara tetangga tahun lalu seperti Vietnam 46,6 persen dari PDB, Thailand 50,4 persen dari PDB, dan Singapura 131 persen dari PDB.
Rasio utang publik Indonesia juga di bawah China 61,7 persen dari PDB, Korea 48,4 persen dari PDB, Amerika Serikat (AS) 131 persen dari PDB, Jepang 266,2 persen dari PDB, dan Jerman 73,3 persen dari PDB.
Yustinus berharap pandemi covid-19 segera selesai. Dengan demikian, penerimaan pajak meningkat dan pengelolaan utang di Indonesia bisa semakin baik.