Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaporan pajak senilai Rp21,57 triliun belum lengkap menyajikan hak negara, sehingga masih perlu ditinjau kembali. Kondisi yang sama juga terjadi pada pelaporan pajak lain dengan nilai mencapai US$8,26 juta.
"Pelaporan beberapa laporan pajak belum lengkap menyajikan hak negara minimal senilai Rp21,57 triliun dan US$8,26 juta," ungkap Ketua BPK Agung Firman Sampurna saat menyampaikan hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020 di Istana Negara, Jumat (25/6).
Selain itu, BPK juga menemukan ada pelaporan yang belum sesuai terkait kewajiban negara minimal sebesar Rp16,56 triliun. Ketidaksesuaian merujuk pada batas akuntansi akrual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga:5 Negara yang Bangkrut Akibat Utang |
Temuan lain menyatakan bahwa ada saldo piutang kadaluwarsa yang belum diyakini kewajarannya sebesar Rp1,75 triliun. BPK juga memberi catatan bahwa penatausahaan piutang pajak pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan masih belum memadai.
Atas temuan ini, BPK meminta pemerintah pusat untuk segera melengkapi pelaporan agar bisa diuji kembali kewajarannya.
Selain dari sektor pajak, BPK juga menemukan beberapa temuan lain. Pertama, belum ada penetapan pada realisasi pembiayaan dan pemindahbukuan dari rekening Bendahara Umum Negara (BUN) yang dititipkan pada rekening Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Penetapan itu belum dilakukan karena belum ada pengaturan terkait pengelolaan dana tersebut. Realisasi pembiayaan dan pemindahbukuan tersebut berupa Dana Abadi Penelitian, Kebudayaan, dan Perguruan Tinggi sebesar Rp8,99 triliun.
Kedua, terdapat ketidakjelasan status tagihan penggantian dana talangan pendanaan pengadaan tanah Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh badan usaha yang tidak lolos verifikasi berdasarkan laporan hasil verifikasi BPKP. Ketiga, pemerintah belum menetapkan pedoman perhitungan kewajiban jangka panjang atas program pensiun.
Keempat, BPK menemukan bahwa realisasi dana sumber daya berupa penerimaan migas, seluruhnya dimasukkan ke dalam APBN sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
"Sehingga pemerintah tidak memiliki dana sumber daya yang dialokasikan khusus dalam pengelolaan kegiatan hulu migas," pungkasnya.