Vaksin gotong royong yang semula berbayar bagi perusahaan, nantinya bisa dibeli secara individu melalui PT Kimia Farma Tbk. Memang, harga vaksin berbayar yang dipatok mengikuti aturan Kementerian Kesehatan, yakni Rp321.660 per dosis, plus tarif maksimal pelayanan Rp117.910 per dosis.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Sebagian yang pro menilai kebijakan ini sah-sah saja dengan dalih bisa mempercepat distribusi vaksin kepada masyarakat, sedangkan yang kontra tak ingin hal ini terjadi karena menimbulkan ketimpangan di tengah wabah yang kian mengkhawatirkan.
Menteri BUMN Erick Thohir memastikan pengadaan vaksin berbayar, baik secara individu maupun badan usaha tak menggunakan dana APBN. Semua sepenuhnya menggunakan keuangan maupun pinjaman korporasi di holding farmasi BUMN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal harga pun, ia memastikan sudah mengikuti aturan karena nominal ketentuan Kemenkes sudah dikaji oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Begitu pun dengan pertimbangan margin dari penjualan tiap dosis vaksin.
"Sesuai permenkes yang berlaku, semua vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi gotong royong tidak menggunakan vaksin yang berasal dari yang telah dialokasikan untuk program vaksinasi pemerintah," ungkap Erick, Senin (12/7).
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan tetap menyediakan kas negara untuk pengadaan vaksin gratis dari pemerintah dengan target jangkauan 70 persen masyarakat Indonesia. Saat ini, setidaknya pemerintah sudah mengeluarkan dana Rp10,2 triliun untuk pengadaan 59,3 juta dosis vaksin gratis.
"Pemerintah menjamin 70 persen herd immunity secara gratis dan sudah ada di dalam anggaran APBN kita. Kami tinggal mengejar kecepatan vaksinasi, dengan memobilisasi TNI/Polri dan BKKBN supaya kita segera mengejar 1 juta-2 juta dosis per hari seperti yang kita harapkan," tutur Ani, sapaan akrabnya.
Kendati begitu, Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan apapun alasannya, rencana vaksin berbayar secara individu tetap salah dan harus dibatalkan. Menurutnya, alih-alih mempercepat distribusi vaksin untuk menyelamatkan masyarakat, hal ini justru memperjelas praktik cari untung di tengah kesulitan pandemi.
"Alasan untuk mempercepat laju vaksinasi. Dari sini saja, logika berpikirnya salah. Permintaan akan tinggi apabila vaksin gratis. Yang terjadi di lapangan, peminat vaksin sangat banyak, namun vaksin yang tersedia dosisnya sangat sedikit. Jadi, aneh kalau mau mempercepat vaksinasi justru diterapkan vaksin berbayar," kata Huda kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/7).
Bila pemerintah benar-benar ingin mempercepat distribusi vaksin dan mencapai herd immunity, maka yang harus dilakukan adalah memanfaatkan jaringan klinik Kimia Farma untuk penyelenggaraan vaksinasi gratis. Toh, kebijakan ini berasal dari pemerintah dan BUMN merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
"Selain itu, praktik ini hanya mencari keuntungan. Kekurangan stok membuat sebagian warga rela membayar vaksin dengan harga tinggi. Ini yang menjadi celah keuntungan bagi Kimia Farma, ini praktik culas dari pemerintah. Kalau bisa, jangan ditunda tapi dibatalkan," tegasnya.
Lebih lanjut, Huda khawatir dengan dampak ketimpangan yang ditimbulkan dari vaksin berbayar. Sebab, nantinya bukan tak mungkin hanya orang-orang 'berduit' saja yang bisa mengakses vaksin dengan cepat.
Sementara mereka yang miskin, harus sabar antre mendapat vaksin gratis dari pemerintah. Bila ini terjadi, maka pandemi covid-19 pun akan semakin menyengsarakan masyarakat kecil, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
Di sisi lain, Huda juga tidak setuju bila kebijakan ini semata-mata dibenarkan untuk menyelamatkan keuangan negara. Memang, berbagai kondisi pandemi yang kian memburuk membuat ongkos yang harus disiapkan pemerintah jadi bertambah.
Misalnya, saat ini pemerintah menggelontorkan sejumlah bantuan sosial (bansos) tambahan untuk masa PPKM Darurat. Sementara, kebijakan PPKM Darurat sendiri dilakukan demi mengurangi penyebaran covid-19 secara signifikan.
"Tapi (anggaran) sangat-sangat cukup untuk vaksin gratis. Anggaran vaksin sekitar Rp37 triliun," ucapnya.
Bila kurang pun, pemerintah sebenarnya masih punya ruang yang banyak untuk menyiasati kebutuhan anggaran vaksin dan penanganan covid-19 yang sangat mendesak. Misalnya, memangkas suntikan kas negara kepada para perusahaan pelat merah.
"Anggaran PMN (BUMN) 2021 minta ditambah Rp33 triliun, tahun depan Rp73 triliun, itu saja digunakan. BUMN kita terlalu banyak dipaksakan, jadinya harus disuntik terus, mendingan uangnya digunakan untuk vaksinasi gratis," imbuhnya.