Baru-baru ini, mendiang pengusaha Akidi Tio menjadi perhatian publik setelah anggota keluarganya secara simbolis menyerahkan sumbangan senilai Rp2 triliun kepada Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) Irjen Pol Eko Indra Heri.
Dalam perjalanannya, sumbangan untuk penanganan covid-19 itu dinyatakan fiktif alias bodong karena tidak bisa dicairkan. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyebut tak ditemukan dana sebesar itu di lingkaran keluarga Akidi Tio hingga Rabu (4/8).
"Sampai hari ini, hampir bisa dipastikan ini bodong," kata Ketua PPATK, Dian Ediana Rae saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok Akidi Tio sendiri selama ini jauh dari sorotan media. Namanya bahkan tidak pernah muncul di jajaran daftar orang terkaya yang dirilis oleh media internasional seperti Forbes. Riwayat hidupnya juga sulit ditemukan pada mesin pencari Google.
Lantas, mungkinkah orang super kaya di Indonesia menyembunyikan hartanya dari sorotan publik?
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako melihat kemungkinan itu. Pasalnya, sejumlah data kepemilikan harta maupun aset orang-orang kaya di Indonesia sulit ditemukan melalui informasi yang mudah diakses publik.
Ia menilai kondisi tersebut disebabkan Indonesia tidak memiliki central big data atau pusat data nasional. Menurutnya, kepemilikan data saat ini masih terpisah pada masing-masing instansi dan perusahaan sehingga sulit untuk diakses publik.
"Karena kita belum punya central big data, jadi masing-masing perusahaan punya big data tapi belum tersentral, itu yang menjadi PR sekarang," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/8) malam.
Padahal, kata dia, central big data merupakan hal yang sudah berlaku secara universal. Negara-negara yang memiliki central big data tersebut memberikan akses data hanya dengan menggunakan nama individu maupun sejenis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang bersangkutan.
Central big data, lanjutnya, semestinya dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Jadi, semua big data kementerian, lembaga, instansi, dan sebagainya dihubungkan kepada central big data Kominfo, seperti data kepemilikan harta, aset tidak bergerak, data perjalanan, kepemilikan mobil, dan sebagainya.
"Jadi kalau sudah ada central big data, itu bisa diambil dengan menyebut nama dan NIK saja, bisa ke-treasure (lacak) semua," imbuhnya.
Central big data tersebut, juga digunakan oleh sejumlah media resmi seperti Forbes atau Fortune untuk menyusun peringkat orang terkaya di dunia maupun di sebuah negara. Untuk Indonesia, ia menilai data-data tersebut masih dikumpulkan secara terpisah dari perbankan, Ditjen Pajak, dan sebagainya.
"Dia (Forbes dan Fortune) ambil dari central big data, misalnya, dia dapat dari big data perbankan, kemudian cek di central big data benar tidak nih orang kaya, lalu ketahuan uangnya dimana, asetnya, dimana di masing-masing negara," imbuhnya.
Selain faktor teknis, ia menduga sejumlah orang tajir enggan membuka kepemilikan hartanya untuk menghindari kewajiban pajak. Maklum saja, lanjutnya, tarif pajak di Indonesia masih terbilang tinggi.
"Sistem pajak kita harus dibenahi, tarif pajak masih cukup tinggi, belum lagi sanksinya," ujarnya.