RUU EBT, APBN Diprediksi 'Tekor' Dobel di Masa Depan

CNN Indonesia
Selasa, 10 Agu 2021 20:13 WIB
APBN dinilai bakal terkuras karena harus memberikan subsidi lagi kepada pengembangan energi baru terbarukan melalui PLN.
PLTS Atap. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah klausul dalam Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang sedang digodok dinilai pengamat energi berpeluang membebani APBN sekaligus PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai perusahaan pelat merah.

Salah satunya mengenai kewajiban PLN untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan dari para penyedia energi terbarukan.

Alih-alih PLN, pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk mempercepat bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025 serta Net Zero Emmision 2060 justru dinilai perlu mengambil alih tanggung jawab.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu diungkapkan Direktur Tropical Renewable Energy Center Fakultas Teknik Universitas Indonesia Dr. Ing Eko Adhi Setiawan.

Eko mengatakan isu energi terbarukan, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, memiliki tiga pemain penting yang harus sama-sama didorong. Mereka terdiri dari PLN, Independent Power Producer (IPP) atau investor - baik lokal maupun internasional, serta masyarakat.

Untuk mendorong ketiga pihak tersebut, perlu peran pemerintah sebagai penaung.

"Jika kita baca klausul RUU EBT, memang kita akan menangkap adanya beban kepada PLN. Kasihan PLN-nya," kata Eko saat dihubungi, Selasa (10/8).

Sehingga, kata dia, persoalan EBT ini duduk perkaranya harus jelas, terutama terkait dengan siapa yang punya kepentingan soal bauran energi di masa mendatang. Dan pemerintah, tuturnya, adalah pihak yang berkepentingan soal itu.

"Sekarang kita dudukkan dulu perkaranya. Siapa kah yang punya kepentingan untuk bauran energi terbarukan? Siapakah yang punya kepentingan untuk mencapai Net Zero Emission? Pemerintah. Jadi tanggung jawab seharusnya memang diambil alih oleh pemerintah, bukan oleh PLN-nya," kata dia.

Beban yang dimaksud dalam RUU EBT terhadap PLN adalah mengacu pada Pasal 40 RUU tersebut. Isinya, PLN wajib membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan yang disediakan oleh para penyedia energi terbarukan.

Hal inilah, kata Eko, yang bakal membebani PLN ke depan jika RUU EBT diterapkan. "Dengan klausul di RUU itu, wajar jika PLN berada dalam posisi sulit. Loh ini saya sedang kelebihan pasokan tetapi kenapa harus beli?" tegas Eko.

Hal itu secara umum berarti, negara bakal memberikan alokasi melalui APBN untuk pengembangan EBT, di antaranya adalah untuk proyek PLTS Atap.

Di sisi lain, kata dia, kalau biaya listrik dari energi terbarukan itu dibebankan kepada masyarakat, maka dapat menimbulkan gejolak.

Eko menyarankan karena ini menjadi prioritas pemerintah, maka harus ada koordinasi lintas kementerian yakni Kementerian BUMN dan ESDM terkait persoalan tersebut. Hal ini, kata dia, untuk mengatasi masalah yang bakal dihadapi PLN di dalam RUU EBT tersebut.

Diketahui dalam draf RUU EBT, pemerintah pusat menugaskan badan usaha milik negara yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan.

Begitu juga dengan perusahaan minyak dan gas bumi milik negara atau badan usaha milik swasta yang dapat ditugaskan untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari energi terbarukan.

Pasal 50 draft RUU EBT yang dirilis pada Januari 2021 menyebutkan bahwa harga energi baru ditetapkan oleh pemerintah pusat berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi Badan Usaha. Begitu pula dengan harga energi terbarukan.

Selanjutnya, pasal 51 menyebutkan bahwa penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan tersebut berupa tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan/atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, harga indeks pasar bahan bakar nabati, dan/atau mekanisme lelang terbalik.

Adapun, harga energi terbarukan berupa tarif masukan tersebut ditetapkan untuk jangka waktu tertentu.

Dalam hal harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.

Tarif Premium Pengembang di halaman berikutnya...

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

Tarif Premium Pengembang dan TDL Naik

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER