Menilik Plus Minus PLTS Atap

CNN Indonesia
Rabu, 11 Agu 2021 19:30 WIB
Potensi peluang usaha bagi setiap warga untuk menjadi produsen PLTS Atap dinilai bisa berakibat buruk bagi PLN dan keuangan negara.
Ilustrasi. (Foto: Istockphoto/Gregory_DUBUS)

Investasi Tak Murah

Donald, salah satu pengguna dan pemasang PLTS Atap di Jakarta, mengakui bahwa biaya investasi awal yang perlu dikeluarkan untuk memasang solar panel memang tidak murah.

Pria yang sudah mulai menggunakan solar panel sejak 2 tahun terakhir ini mengaku bahkan memilih memburu komponen-komponen bekas demi menyiasati biaya tinggi tersebut.

Dengan cara seperti itu, lanjutnya, dia bisa menekan biaya investasi demi memasang solar panel. Selama 2 tahun terakhir, ujarnya, biaya yang telah dia keluarkan untuk menyediakan energi listrik sebanyak 320 watt di rumahnya berkisar Rp10 juta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau saya pakai alat-alat yang semuanya baru, dan untuk memenuhi kapasitas listrik yang lebih besar, wah, biayanya bisa jauh lebih bengkak," katanya.

Namun demikian, dia mengakui bahwa memasang PLTS Atap di rumah dapat menjadi kepuasan tersendiri. Selain karena ramah lingkungan, aktivitas ini ternyata dapat menjadi hobi yang menyenangkan.

Iwa Garniwa menilai bahwa pemerintah sebetulnya terjebak pada janji untuk penggunaan energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025.

"Seolah-olah yang mau digenjot adalah solar cell atau energi matahari. Padahal energi matahari ini menghadapi tipikal problem seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya," katanya.

Padahal, lanjutnya, selain fokus mengejar pengembangan energi matahari untuk pembangkit listrik, pemerintah dapat melakukan sejumlah hal yang lebih mungkin untuk didorong. Salah satunya yakni mulai melakukan co-firing atau peralihan penggunaan energi batu bara ke energi biomass.

"Saat ini, sebanyak 60 persen pembangkit listrik di indonesia menggunakan batu bara. Nah, batu baranya sebagian kita ganti. Ada bahasanya co-firing. Jadi 90 persen batu bara, 10 persen biomass. Kan renewable energi biomass itu. Sampah pun termasuk kategori renewable energi. Itu sampah, biomass, dikonversi menjadi batu bara. Dicampurlah," katanya.

Dengan strategi seperti itu, lanjutnya, ada pengurangan penggunaan batu bara hingga 10 persen.

"Coba dihitung, kebutuhan batu bara di Indonesia sekitar 120 juta. Berarti kalau diganti dengan biomass bisa mencapai 12 juta ton. Turun tuh menjadi hanya sekitar 100 juta ton. Itu berarti kontribusi renewable energi, masuk di pembangkit batu bara. Batu baranya turun," tegasnya.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

(asa)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER