Pelonggaran PPKM Belum Tentu 'Nendang' ke Konsumsi Warga
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Indonesia pada 24-31 Agustus 2021. Namun, beberapa daerah seperti Jabodetabek, Bandung Raya, hingga Surabaya Raya, berhasil turun level dari PPKM Level 4 menjadi Level 3.
"Untuk itu pemerintah memutuskan mulai 24 hingga 30 Agustus 2021 beberapa daerah bisa diturunkan levelnya dari 4 ke 3," ujar Jokowi, Senin (23/8).
Untuk daerah dengan PPKM Level 3, Jokowi memperbolehkan pemerintah daerah setempat membuka operasional beberapa sektor ekonomi, seperti restoran, pusat perbelanjaan atau mal, hingga industri berorientasi ekspor.
Restoran boleh buka dan beroperasi sampai pukul 20.00. Syaratnya, pengunjung yang makan di tempat (dine in) dibatasi hanya 25 persen dari kapasitas dengan tamu dua orang per meja.
Begitu juga dengan operasional mal, boleh buka dengan kapasitas maksimal 50 persen dan beroperasi sampai pukul 20.00. Sementara industri berorientasi ekspor dan penunjangnya, boleh beroperasi sampai 100 persen kapasitas, tapi bila ditemukan klaster kasus mau tidak mau harus tutup selama lima hari.
Sedangkan aktivitas perkantoran (work from home/WFO) diperbolehkan mencapai 25 persen untuk wilayah dengan PPKM Level 4 di luar Jawa-Bali. Namun lagi-lagi, bila ditemukan kluster kasus, maka harus tutup selama lima hari.
Kendati aturan dilonggarkan, namun Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat hal ini tak serta merta akan mengerek konsumsi masyarakat. Khususnya, konsumsi dari aktivitas 'ngemal' alias berbelanja di mal dan 'nongkrong' di restoran atau kafe.
Hal ini terjadi karena pemerintah menerapkan PPKM selama dua bulan terakhir. Kebijakan itu membuat banyak perusahaan dan usaha informal harus mengurangi aktivitas bisnisnya, termasuk mempekerjakan karyawan sehingga tak jarang muncul pengurangan gaji hingga PHK.
Hal ini kemudian berdampak pada tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat.
"Aturan bagi pusat perbelanjaan dilonggarkan, tapi daya beli kelas menengah belum men-support belanja yang tinggi," ucap Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Bahkan, sebagian masyarakat yang mendapat bantuan sosial (bansos) pun, dirasa belum benar-benar meningkat daya belinya untuk bisa melakukan konsumsi yang tinggi, seperti 'ngemal' dan 'nongkrong' di restoran. Apalagi beberapa bansos pun masih dalam proses pencairan.
Selain karena faktor daya beli masyarakat yang belum pulih, Bhima menilai kebijakan pelonggaran dari pemerintah sejatinya juga belum saling mendukung untuk semua sektor bisnis. Misalnya, mal dan restoran boleh buka, tapi aktivitas perkantoran masih dibatasi sekitar 25 persen saja.
"Artinya, sebagian besar pekerja masih berada di rumah. Padahal, pengunjung mal kan juga pekerja perkantoran. Jadi satu sektor dilonggarkan, tapi sektor lain masih dibatasi, sehingga belum akan berpengaruh banyak," ungkapnya.
Yang tak ketinggalan adalah soal kepercayaan diri masyarakat. Saat ini, jumlah pertambahan kasus covid-19 di Indonesia memang sudah menurun dibandingkan masa puncak sekitar dua bulan terakhir, tapi hal ini tak serta merta langsung mengembalikan kepercayaan diri masyarakat untuk berpergian, termasuk belanja ke mal dan makan di restoran.
Begitu pula dengan syarat vaksin untuk masuk mal dan restoran. Sebab, vaksin sebenarnya tidak menjamin penularan virus tidak akan terjadi, sehingga hal ini kemungkinan masih memungkinkan masyarakat untuk menahan keinginannya untuk 'ngemal' dan 'nongkrong' di restoran.
Atas berbagai pertimbangan ini, Bhima menilai tingkat konsumsi masyarakat tidak akan naik tinggi pada kuartal III 2021. Apalagi, pemerintah menerapkan PPKM ketat selama Juli-Agustus 2021, sehingga hanya tersisa satu bulan saja untuk mendongkrak konsumsi masyarakat.
"Pada September pun tidak ada event besar yang bisa memicu kenaikan mobilitas masyarakat," imbuhnya.
Dengan konsumsi masyarakat yang kemungkinan belum naik pada kuartal III, Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi pun hanya bisa tumbuh positif di kisaran 2 persen. Proyeksinya turun jauh dari realisasi laju ekonomi Indonesia mencapai 7,07 persen pada kuartal II kemarin.
Menurut Bhima, selain karena tingkat konsumsi masyarakat yang belum pulih, ekspor pun kemungkinan tidak sekuat pada kuartal II lalu. Sebab, permintaan pasar luar negeri kemungkinan menurun seiring penyebaran covid-19 varian Delta.
"Ini karena negara tujuan ekspor mengalami masalah menghadapi varian delta, sehingga berpengaruh terhadap laju konsumsi maupun permintaan bahan baku industri," tuturnya.
Cek faktor penghambat konsumsi lainnya di tengah pelonggaran PPKM pada halaman berikutnya.