Pakar Energi Soroti PLTS Atap Tak Bikin Cuan Industri Lokal

CNN Indonesia
Selasa, 24 Agu 2021 19:56 WIB
Sejumlah pakar mengkritik ketidaksiapan produsen lokal untuk industri PLTS Atap dan hanya menguntungkan importir semata.
PLTS Atap. (Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ADITYA PRADANA PUTRA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah pakar energi mendorong pemerintah untuk merumuskan kebijakan untuk memperkuat industri nasional produsen panel surya, alih-alih mengubah skema ekspor-impor listrik net-metering demi mendorong bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025.

Di sisi lain, pemerintah pun diminta untuk membatalkan revisi Permen ESDM Nomor 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara.

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menilai perubahan tersebut mengabaikan potensi uang APBN yang menguap tanpa nilai tambah terhadap industri nasional produsen pembagkit listrik tenaga surya (PLTS).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan perubahan skema ekspor-impor listrik dari 0,65:1 menjadi 1:1, ada potensi kerugian PLN guna menutup biaya kompensasi biaya penyimpanan listrik dari PLTS Atap. Potensi kerugian ini pada akhirnya akan menjadi beban bagi keuangan negara.

Mengacu aturan yang lama, listrik hasil produksi PLTS Atap diekspor ke jaringan PLN pada siang hari dengan tarif 65 persen. Listrik tersebut kemudian digunakan oleh pemasang PLTS Atap pada malam hari dengan tarif 100 persen.

Ada selisih atau margin 35 persen yang digunakan sebagai sebagai kompensasi biaya penyimpanan listrik.

Mukhtasor menyatakan kompensasi ini merefleksikan biaya untuk mengatasi berbagai masalah, di antaranya listrik yang berubah menjadi panas selama masa transmisi, perbedaan biaya pembangkitan pada siang dan malam hari.

Selain itu, juga untuk biaya menyalakan pembangkit untuk siaga mengantisipasi ketidakpastian pasokan PLTS karena cuaca dan sebagainya. Skema ini diistilahkan 0,65:1.

Dengan mengubah skema ekspor-impor tersebut menjadi 1:1, tidak ada lagi kompensasi biaya penyimpanan listrik konsumen. Seluruh kompensasi biaya penyimpanan menjadi ditanggung oleh PLN.

"Draf Revisi Permen ESDM mengabaikan biaya-biaya tersebut, di mana semua listrik yang diekspor siang dapat 100 persen diimpor kembali malam. Ketika beban keuangan menimpa PLN, pada akhirnya menjadi beban APBN," ujar Mukhtasor pada Selasa (24/8).

Menurutnya, jauh lebih baik apabila anggaran yang semula harus digunakan untuk menutup kompensasi biaya penyimpanan setrum tersebut, diubah menjadi insentif untuk industri nasional rantai pasok PLTS, khususnya produsen solar cell. Insentif tersebut dapat berupa insentif finansial, fiskal, pajak dan nonfiskal lainnya.

"Dengan demikian harga solar cell dari industri nasional di pasaran makin kompetitif, dan pengguna PLTS Atap bisa membelinya lebih murah. Keekonomian PLTS Atap juga akan meningkat baik. Minat dan dukungan pada PLTS Atap akan meningkat," ujarnya.

Dengan strategi tersebut, menurut dia, semua pihak akan diuntungkan. Ada mitigasi risiko kenaikan tarif listrik bagi masyarakat luas, PLN tetap menerima kompensasi biaya penyimpanan setrum seperti praktik bisnis yang sehat, dan ada industri baru produsen lokal panel surya.

Penggunaan PLTS Atap sebagai energi baru terbarukan juga diatur dalam draf RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengah digodok di Senayan.

Mengacu PP Nomor 14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 6 Maret 2015, Pemerintah menetapkan tiga tahap pembangunan industri 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2035.

Di antara enam jenis industri andalan dalam pembangunan industri nasional adalah industri pembangkit energi. Solar cell sendiri merupakan primadona karena tetap diutamakan pada seluruh tahapan rencana pembangun industri 2015-2035 tersebut.

Mukhtasor menilai ketika insentif belum dilaksanakan dan captive market tak ada namun revisi Permen disahkan, maka pertumbuhan permintaan soal cell akan jatuh pada perangkap importir partikelir, tanpa nilai tambah pada industri nasional.

"Ini artinya, Draf Revisi Permen juga bertentangan dengan PP Nomor 79/2014, bahwa energi adalah modal pembangunan, di mana pembangunan energi harus diarahkan salah satunya untuk menciptakan nilai tambah nasional," katanya.


RI Cuma Jadi Pasar

Rinaldy Damili, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menegaskan bahwa industri solar cell dalam negeri perlu didorong untuk berkembang sehingga dapat mandiri dan mampu menanggung kebutuhan atas energi solar di masa mendatang.

Pasalnya, ujar Rinaldy, tren dunia ke depan sudah jelas yakni mengarah ke perkembangan pasar dari energi terbarukan, salah satunya matahari.

Dia secara khusus memperkirakan bahwa pada 2030, harga energi terbarukan akan bersaing dengan energi fosil. Artinya, ujarnya, faktor yang mendorong penggunaan energi terbarukan setelah 2030 adalah pasar.

"Penggunaannya akan naik secara eksponensial setelah itu (2030).  Kalau industri di dalam negeri tidak siap, penggunaan solar cell akan tetap maju, membesar. Akhirnya kita cuma akan menjadi pasar. Nah di situ lah pilihan kita. Apakah kita akan menjadi pasar dunia untuk kebutuhan dalam negeri, atau kita bisa produksi supaya kita bisa mandiri," ujarnya.

Menurut Rinaldy, solar cell bukanlah suatu industri yang sangat canggih. Dia menegaskan bahwa Indonesia sangat mampu untuk mengembangkan industri tersebut. Apalagi, Tanah Air juga memiliki bahan baku material untuk bakal memproduksi panel surya, yakni bijih besi.

Bahkan, lanjutnya, Indonesia saat ini telah memiliki pelaku industri yang memproduksi panel surya. Namun demikian, sel surya yang menjadi bahan untuk merakit panel surya tersebut masih diimpor dari luar negeri, khususnya China.

"Jadi memang mulai sekarang sudah harus disiapkan industrinya. Cuman industrinya mulai dari mana? Apakah dari bahan baku yang dari perut bumi ini menjadi sel-sel yang akan membentuk sel surya? Apakah mulai industri yang memproduksi sel surya? Atau dari mana?" katanya.

Hanya saja, lanjutnya, untuk tahap awal pengembangan seperti saat ini, industri tidak akan mampu berkembang sendiri karena nilai keekonomian PLTS tergolong tinggi. 

Oleh karena itu, lanjutnya, perlu peran pemerintah untuk mendorong industri mampu memproduksi energi surya dengan biaya terjangkau. Apalagi untuk saat ini, pasar di Indonesia belum tergolong besar.

"Kalau investor diharapkan untuk membangun itu di start awal ini, dia belum berani. Sehingga pemerintah yang harus menginisiasi itu. Jadi sebelum 2030 lah diperlukan kebijakan khusus seperti insentif atau subsidi tadi. Setelah itu tidak perlu lagi kebijakan khusus, biarkan saja dia berkembang. Sebab, ketika nanti harganya murah, masyarakat kita akan dengan sendirinya menggunakannya," katanya.

Kolaborasi

Direktur Tropical Renewable Energy Center (TREC) Fakultas Teknik Universitas Indonesia Dr. Ing Eko Adhi Setiawan menyebutkan bahwa antusiasme masyarakat untuk memasang solar panel atau PLTS Atap semakin meningkat tinggi.

Belum lama ini, pihaknya melakukan survei untuk melihat antusiasme masyarakat, khususnya di ibu kota, terhadap implementasi pembangkit energi terbarukan tersebut.

"Dari hasil survei dari TREC FT UI terlihat bahwa 84 persen warga DKI Jakarta ingin memasang panel surya atap. Sisanya sebanyak 16 persen warga DKI Jakarta tidak ingin memasang panel surya atap. Ini menunjukkan antusiasme masyarakat untuk pasang solar panel atap," kata Eko.

Namun, lanjutnya, dengan asumsi bahwa kapasitas produksi dalam negeri baru mencapai 200 MW-300 MW/tahun, ada gap yang besar antara pasokan dan permintaan. Oleh karena itu, Eko menilai perlu dilakukan penambahan pabrik perakitan panel surya di Indonesia agar kapasitas produksi dapat didorong secara cepat.

Dia pun menilai ada sejumlah strategi yang dapat dilakukan. Salah satunya yaitu kolaborasi antara industri perakitan panel surya di Indonesia dengan pabrikan China atau Taiwan yang sudah besar. Hal itu dinilai perlu karena sebanyak 70 persen produksi perangkat dunia saat ini dipegang oleh China.

Dengan membangun pabrik hasil kolaborasi itu, ujarnya, maka ada benefit untuk Indomesia. Para pekerja dan insinyur Indonesia dapat bekerja di situ, infrastruktur green industry akan maju dan bertambah, serta iklim investasi bisnis energi hijau akan marak. Pada muaranya, akan tercipta pasar yang kompetitif.

"Bagaimana dengan pembangunan IPP PLTS skala besar? Di sini, kebijakan pemerintah Indonesia mempunyai peran penting," lanjutnya.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

(asa/asa)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER