ANALISIS

Membaca Maksud China 'Ngerem' Perusahaan Raksasa

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 25 Agu 2021 07:00 WIB
Ekonom menilai kebijakan China mengatur ketat perusahaan besar, terutama di sektor ekonomi digital, mencerminkan paham komunisme yang dianut. Ilustrasi. (NOEL CELIS / AFP).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah China mengeluarkan sejumlah kebijakan ketat kepada perusahaan besar dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu dimulai dari sektor teknologi, yakni kepada Ant Group. Otoritas keuangan China meminta raksasa fintech tersebut mengubah model bisnis dan operasionalnya.

Tak sampai di situ, Pemerintah China mengenakan denda kepada sang holding, Alibaba Group Holding sebesar US$2,8 miliar karena dianggap melanggar aturan anti-monopoli. Denda kepada perusahaan milik taipan Jack Ma itu terbesar dalam sejarah China.

Nasib serupa dialami oleh Tencent Holdings. Beberapa kali regulator China mengenakan denda kepada perusahaan Ma Huateng alias Pony Ma itu, sehingga ia diprediksi kehilangan US$14 miliar.

Badan Regulasi Pasar Tiongkok (SAMR) juga mengenakan denda kepada pengembang aplikasi pendidikan Zuoyebang dan Yuanfudao yang didanai oleh Alibaba Group dan Tencent Holdings.

Puncaknya, Presiden China Xi Jinping berjanji akan melakukan redistribusi kekayaan di negara itu. Jinping sebelumnya juga pernah menyinggung kemakmuran bersama (common prosperity) yang seolah memberikan sinyal jawaban dari kebijakan-kebijakan Pemerintah China dalam beberapa waktu terakhir kepada perusahaan kakap.

"Kemakmuran bersama adalah kemakmuran semua orang. Bukan kemakmuran segelintir orang," ujar Xi Jinping dalam sebuah pidato.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan kebijakan Pemerintah China 'mengerem' perusahaan besar tersebut mencerminkan penerapan paham komunis yang belum hilang.

Dikutip dari berbagai sumber paham komunis adalah ideologi ekonomi dan politik yang menerapkan sistem tanpa kelas. Pada prinsipnya, negara direpresentasikan sebagai milik rakyat, karenanya seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara melalui pemerintah guna kemakmuran rakyat secara merata.

"Artinya, dengan prinsip-prinsip tertentu mereka merasa terganggu apabila ada perusahaan atau seorang, segolongan orang yang merasa lebih besar dari negara, maka kemudian dikontrol oleh Pemerintah China," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (24/8).

Dalam perkembangannya, kata Fithra, China memang telah melakukan liberalisasi perdagangan secara intensif mulai pada awal 2000-an. Namun, sistem ekonomi dan politik China tidak sepenuhnya berubah menjadi liberal, karena masih ada akar komunisme di dalamnya.

Sedikit mengingatkan Pemimpin China yang membangkitkan komunisme serta Partai Komunis China (CCP) adalah Mao Zedong. Namun, setelah kepergiannya pada 1976, China memulai dekade liberalisasi ekonomi di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping.

"China terutama memasuki abad 21 dari awal 2000-an mereka sudah sedemikian intensif melakukan liberalisasi perdagangan, di satu sisi mengundang investasi, tapi di sisi lain mereka mempertahankan prinsip dasar mereka dalam hal komunisme," imbuhnya.

Selain paham komunis yang masih bercokol, ia menduga ada sejumlah penyebab lain dari munculnya sentilan Pemerintah China kepada perusahaan besar tersebut. Pertama, ia menduga Pemerintah China mencoba menekan ketimpangan di negara itu yang kian lebar dalam beberapa tahun terakhir.

Jurang antara si kaya dan miskin, kata Fithra, diperparah oleh pandemi covid-19. Melansir CNN Business, dalam beberapa tahun terakhir, sektor swasta China beserta jumlah kekayaan swasta meningkat tajam.

Bahkan, pada 2019, jumlah orang kaya China melampaui jumlah orang kaya AS yang merupakan pertama kalinya dalam sejarah.

Cek dampak kebijakan China terhadap Indonesia pada halaman berikutnya.

Dampak ke RI


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :