Ekonom IPB Noer Azam Achsani meminta pemerintah tidak menerapkan skema ponzi pada pengelolaan utang negara, yaitu dengan cara menarik utang untuk membayar utang. Sebab, jumlah utang Indonesia sudah menumpuk dan banyak yang memiliki jatuh tempo berjangka pendek pada beberapa tahun ke depan.
"Yang dikhawatirkan adalah utang untuk bayar utang. Ini memunculkan seperti skema ponzi," ucap Noer di acara Sarasehan 100 Ekonom, Kamis (26/8).
Menurut Noer, penarikan utang harus selalu jelas tujuan penggunaannya sehingga tidak asal tarik, misalnya untuk pembangunan, membangun infrastruktur, dan lainnya. Selain itu, Noer menilai penarikan utang pemerintah saat ini sudah seharusnya agak direm.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita ini ibarat naik bus besar, jalan kencang di tol, padahal ada banyak tanda masalah. Kalau saya bilang mungkin ada baiknya kita parkir dulu deh di rest area, baru kita lihat lagi ini semua aman tidak, kalau aman baru dipacu lagi," ujarnya.
Ia mengatakan usulan agar penarikan utang sedikit direm karena jumlahnya sudah terlalu tinggi. Per Juni 2021, tercatat jumlahnya mencapai Rp6.554,56 triliun.
Masalahnya, bukan cuma pada nominal yang besar, tapi juga porsi utang jangka pendek yang tinggi. Menurut catatannya, porsi jumlah utang jangka pendek yang akan jatuh tempo pada 2025 mencapai 67 persen dari total utang.
"67 persen SBN yang akan jatuh tempo pada 2025 itu dikeluarkan pada 2018, 2019, 2020. Kalau ditarik dari 2015, porsinya naik jadi 84 persen yang akan jatuh tempo pada 2025. Ini menunjukkan kekhawatiran," katanya.
Apalagi dari sisi penerimaan pajak, sambungnya, tidak ada sinyal positif dari pos ini. Menurut catatannya, target penerimaan pajak pemerintah hanya tercapai pada 2004, 2005, dan 2008 dalam 20 tahun terakhir.
"Menteri Keuangan (Sri Mulyani) bilang kita akan sanggup bayar utang kalau rakyat bayar pajak. Nah masalahnya tren pembayaran pajak dari 2013 sampai sekarang ini turun, meski sudah ada tax amnesty," tuturnya.
Ekonom CORE Indonesia Hendri Saparini juga turut memberikan sorotan pada utang pemerintah. Menurutnya, pemerintah boleh saja mengklaim rasio utang Indonesia masih aman.
Sebab, rasionya berada di kisaran 41,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memperbolehkan rasio utang di batas 60 persen dari PDB.
Rasio utang ini, katanya, juga boleh diklaim masih lebih rendah dari beberapa negara di dunia, salah satunya negara tetangga Malaysia di kisaran 50 persenan.
"Kata pemerintah tidak apa utang, kita belum 60 persen, tapi Malaysia itu meski utang naik, tapi yield (imbal hasil surat utang) mereka jauh lebih rendah dari kita. Kita 6 persenan, Malaysia bisa cuma 3 persen sampai 3,5 persen. Artinya, kesinambungan fiskal yang lebih penting daripada rasio utang yang rendah," ungkap Hendri pada kesempatan yang sama.