RUU EBT Dinilai Lupakan Isu Suplai Listrik Luber di Jawa-Bali

CNN Indonesia
Kamis, 26 Agu 2021 19:26 WIB
Penggodokan RUU EBT dinilai tak memperhitungkan melubernya suplai listrik Jawa-Bali hingga Sumatera. Pakar menilai hal itu akan membebani anggaran negara.
Ilustrasi.Penggodokan RUU EBT dinilai tak memperhitungkan melubernya suplai listrik Jawa-Bali hingga Sumatera. Pakar menilai hal itu akan membebani anggaran negara. (Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pembahasan Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) terus bergulir. Aturan yang semula dirumuskan untuk mempercepat bauran energi baru dan terbarukan sehingga menjadi modal pembangunan berkelanjutan itu memicu perdebatan.

Pasalnya, sejumlah klausul dikhawatirkan akan memberatkan penyelenggara listrik negara serta pemerintah.

Di antara pasal yang menuai perdebatan yakni pasal 24 dan pasal 40 yang menyebutkan bahwa perusahaan listrik milik negara yakni PT PLN (Persero) dapat ditugaskan oleh pemerintah untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh energi baru serta diwajibkan untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan. Hal itu akan 'memaksa' PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan oleh independent power producer (IPP) dalam kondisi apapun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun penyedia energi terbarukan dapat berupa badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), badan usaha milik desa (BUMDes), koperasi, badan usaha milik swasta (BUMS), badan usaha lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan perorangan.

Dengan klausul ini, peluang untuk swastanisasi penyediaan listrik yang bersumber dari energi terbarukan kian terbuka. Ke depan, setiap individu pun menjadi lebih berkesempatan untuk menjadi pengusaha EBT. Dengan cakupan kelompok penyedia yang kian luas, maka peluang untuk penambahan pasokan listrik juga semakin besar.

Selanjutnya pada pasal 51, pemerintah pusat diwajibkan mengeluarkan dana untuk pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik, apabila ternyata harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik PLN.

Artinya, ada dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang berpotensi digunakan untuk menutup selisih tersebut.

Iwa Garniwa, Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia memaparkan selain potensi risiko di atas, akan timbul risiko lainnya yakni kelebihan pasokan listrik.

Dia menyebutkan PLN saat ini memiliki persoalan over capacity yang disebabkan oleh permintaan yang tidak sesuai ekspektasi. Ketika ekonomi terhantam sebagai dampak pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama lebih dari 1,5 tahun, industri pun ikut terpukul. Akibatnya, permintaan energi listrik berkurang, namun pasokan berlebih.

"Sekarang kan ada penurunan. Penurunan itu bukan karena masalah (PLTS Atap), tetapi memang kondisi ekonomi sedang begini. Konsumsi dibatasi. Industri juga tidak sekuat dulu. Itulah situasi. Situasi-situasi semacam ini perlu jadi perhatian (pemerintah dan pembuat regulasi)," katanya, Rabu (25/8).

Ia menegaskan bahwa kondisi over capacity bukan merupakan kondisi yang ideal bagi PLN. Pasalnya, di dalam listrik yang meluber tersebut terdapat listrik swasta yang harus dibayar oleh BUMN listrik itu jika tidak digunakan. Artinya, ada tambahan beban tambahan yang harus ditanggung oleh PLN.

"Jangan sampai yang bauran 23 persen ini jadi seperti utang yang harus dikejar. Realistis saja, mana harus dilakukan. Saya hanya khawatir. Sebab, PLTS ini di satu sisi bagus, yaitu energi masa depan. Tetapi di satu sisi, untuk kondisi kita sekarang, ini jadi seperti memberatkan," katanya.

Di tengah kondisi ekonomi yang sedang terpukul dan kondisi PLN yang tengah terbebani dengan kapasitas berlebih, Iwa menilai langkah penggodokan draf RUU EBT untuk mendorong percepatan bauran energi terbarukan saat ini dapat dikaji ulang.

Menurut Iwa, langkah tersebut akan menjadi realistis apabila tidak menimbulkan kenaikan biaya pokok produksi energi listrik dan permintaan listrik telah kembali meningkat.

"Saat ini, sebanyak 60 persen pembangkit listrik di indonesia menggunakan batu bara.Nah, batu baranya sebagian kita ganti. Ada bahasanya co-firing. Jadi 90 persen batu bara, 10 persen biomass. Kan renewable energy biomass itu. Sampah pun termasuk kategori renewable energy. Itu sampah, biomass, dikonversi menjadi batu bara. Dicampurlah," katanya.

Pasokan Meluber Jawa-Bali

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyebutkan bahwa saat ini PLN sedang dalam kondisi kelebihan pasokan energi listrik hingga 60 persen di area Jawa-Bali dan 50 persen-an di Sumatera.

Artinya, untuk pemakaian puncak sebanyak 100 watt, PLN memiliki ketersediaan listrik hingga 160 watt. Sementara itu, kondisi ideal pasokan listrik di saat puncak pemakaian adalah 120 persen atau ada pencadangan sebanyak 20 persen.

"Jadi setiap hari itu, katakanlah, beban puncak pada saat malam mencapai 100 mega watt. Untuk itu disiapkan cadangan (reserve margin) 20 mega watt, maka dioperasikanlah 120 mega watt. Tetapi sekarang karena proyeksi pertumbuhan itu terus tinggi lalu ternyata enggak jadi, lalu ada Covid-19, maka reserve margin-nya berubah menjadi 60%. Jadi butuhnya 100, tetapi yang tersedia oleh PLN 160," paparnya.

Dengan reserve margin atau persentase kapasitas terpasang tambahan, yang sangat tinggi tersebut, maka beban biaya operasi PLN akan naik dan sudah tidak efisien.

Dia mencontohkan, dengan kondisi pasokan kapasitas 160 persen, sedangkan kondisi ideal reserve margin adalah 120 persen, artinya ada selisih kelebihan kapasitas sebanyak 40 persen. Kelebihan kapasitas ini menjadi beban biaya yang harus ditanggung PLN dan bisa membuat konsumen juga harus membayar lebih mahal.

"Kalau cadangan sudah berlebihan sampai 40 persen begini, di sisi lain digencar-gencarkan perlu energi listrik, energi bersih, ada perubahan iklim, ngejar membangun EBT, dan lain-lain. Nah, kalau dipaksakan memasukkan pembangkit baru EBT di dalam kondisi cadangan yang sudah berlebihan, itu nanti semakin berlebihan, dan itu bisa membuat PLN bangkrut," katanya.

Menurut Marwan, tidak ada salahnya mendorong percepatan pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan. Namun, dia meminta kepada seluruh pihak terkait untuk menahan langkah tersebut hingga kondisi kembali ideal.

"Ini politik energinya sangat kental di sini. Sekarang yang menjadi masalah adalah, PLN itu di jawa sudah mempunyai pembangkit listrik yang berlebihan. Kalau mau membangun silakan, tetapi tunggu dulu, sekarang kita lagi berlebihan," katanya.

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, sebelumnya menegaskan bahwa aturan yang sedang disiapkan tidak akan serta merta mengganggu keberlangsungan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pakar energi.

Dia menuturkan pihaknya menyiapkan aturan yang diusahakan dapat mengakomodir kekhawatiran-kekhawatiran yang telah timbul. Dia mencontohkan salah satu yang termahal dan membebani anggaran PLN saat ini adalah pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).

"Bayangkan, energi primer di PLN itu Rp115-an triliun, tetapi energi primer tenaga diesel menelan Rp20 triliun sendiri. Padahal, tenaga diesel hanya 2 giga watt dibandingkan total 63 giga watt yang ada. Bayangkan betapa persentasenya kecil sekali, sementara merongrong. Inilah yag sekarang juga kita dorong untuk diganti dengan EBT," katanya.

Dia juga menegaskan RUU EBT yang berjumlah 61 pasal membawa misi untuk mendorong pengembangan potensi energi baru dan terbarukan secara optimal.

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

(asa/asa)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER