Kementerian ESDM Buka Suara Soal PLTS Atap di RUU EBT
Draf Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang sedang digodok di parlemen dan ditargetkan rampung pada Oktober 2021 masih menuai perdebatan. Pakar energi terus mengingatkan tentang potensi dampak kerugian yang membayangi perusahaan listrik milik negara.
Sementara itu, Kementerian ESDM menyatakan pihaknya tengah melakukan kajian soal Biaya Pokok Produksi (BPP) dan net metering terkait dengan biaya yang timbul di masa depan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan PLN menghadapi potensi kerugian cukup besar yang pada akhirnya akan berdampak pada turunnya pelayanan bagi konsumen.
Marwan terutama menyorot tentang pengembangan PLTS Atap yang saat ini kian digencarkan oleh pemerintah dan sejumlah pihak terkait.
Kehadiran PLTS Atap yang dapat memasok atau mengekspor listrik kepada PLN di tengah kondisi saat ini dinilai akan membawa dampak bagi pembangkit-pembangkit milik PLN.
"Dengan adanya pasokan (dari PLTS Atap) ini, ada sebagian dari pembangkit PLN yang operasionalnya tidak optimal atau dikurangi. Dengan begitu, operasi dari pembangkit ini menjadi tidak efisien. Artinya di situ ada cost yang lain yang nilainya bisa mencapai triliunan," ujarnya dalam diskusi 'Indonesia Forward' yang disiarkan CNN Indonesia pada Kamis (26/8).
Dia menyebutkan memang ada pasokan listrik yang tidak dipakai oleh PLN. Namun, lanjutnya, sarana untuk itu telah dibangun sehingga mau tidak mau pembangkit pun diberhentikan sementara. Ketika sebuah pembangkit berhenti beroperasi, pembangkit tersebut menjadi tidak efisien sehingga menimbulkan biaya.
"Kenapa? Karena sebagian besar pembangkit itu sudah siap, tetapi akhirnya tidak efisien. Apalagi dengan adanya skema take or pay. Kalau bicara energi primer, di situ ada fixed cost, ada juga variable cost. Ini harus diperhatikan," katanya.
Jangan sampai, lanjutnya, pemerintah tergesa menerbitkan UU EBT yang lebih banyak mengakomodasi segelintir investor pembangun PLTS Atap alih-alih PLN yang mewakili jutaan pelanggan, sebelum merembukkan semua masukan dari seluruh pemangku kepentingan.
ESDM Bantah Triliunan
Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menuturkan pihaknya tengah melakukan kajian tentang skema net metering 1:1 terkait dengan listrik yang diproduksi dari EBT. Dia membantah ada kenaikan BPP yang merugikan PLN.
"Angka (subsidi listrik) sekitar Rp70 miliar kalau 3.600 MW dari PLTS Atap itu masuk, jadi angka-angkanya seperti itu," kata Dadan.
Dia membantah jika dihitung ekstrem pun, maka angka kenaikan BPP tak ada yang melonjak seperti yang disampaikan Marwan, yakni triliunan rupiah. Dadan menegaskan perhitungan itu berdasarkan aturan yang berlaku selama ini yakni Peraturan Menteri ESDM.
Di sisi lain, Dadan menegaskan Indonesia juga memiliki target Paris Agreement untuk mengurangi emisi 29 persen, sehingga pemakaian energi baru terbarukan diperlukan. Saat ini, Kementerian ESDM menyatakan ada sekitar 4.000 konsumen PLTS Atap dan pemerintah masih memberikan insentif dalam penggunaan EBT.
Dirjen itu juga menegaskan tak ada transaksi jual beli antara konsumen dengan PLN. Contohnya, rumah tangga yang memiliki listrik 100 kWh namun yang dipakai hanya sekitar 76 persen." Dan 24 persen itu yang diekspor ke PLN. Jadi bukan seluruh listrik masuk ke PLN, ada proses jual beli dan PLN rugi, tidak seperti itu," katanya.
Sementara itu, Tulus Abadi, Ketua Harian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), menyebutkan bahwa energi baru dan terbarukan merupakan suatu keniscayaan yang memang perlu mendapatkan dukungan.
Pasalnya, proyeksi tren penggunaan energi di masa depan akan bergeser dari energi non-terbarukan menjadi energi terbarukan.
"Tetapi memang implementasinya harus pada masa transisi. Jangan sampai kemudian dioperasikan di daerah-daerah tertentu yang sudah surplus, tetapi kemudian disuruh menggunakan EBT tanpa suatu isentif. Karena kalau EBT tanpa insentif, ini akan menjadi sangat mahal," tutur Tulus.
Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan
(asa/asa)