Sejumlah pakar meminta pemerintah dan DPR melihat strategi untuk mendorong percepatan bauran energi terbarukan di dalam negeri dalam konteks yang lebih luas. Pasalnya, Indonesia dinilai masih belum cocok untuk memaksakan diri menjadi pemimpin dalam percepatan bauran energi terbarukan di tengah kondisi internal yang masih penuh tantangan.
Hal itu mengemuka dalam dialog Indonesia Forward mengenai RUU EBT Berpeluang "Memukul" Keuangan Negara yang digelar oleh CNN Indonesia pada Kamis (9/9) malam.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyebutkan bahwa rata-rata bauran energi terbarukan dalam produksi listrik global pada 2020 masih di kisaran 11 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam realitanya, ujar Komaidi, ada negara dengan bauran energi terbarukan di atas dan di bawah 11 persen, yang berarti energi terbarukan di tingkat dunia masih jauh dari target bauran energi terbarukan.
Di sisi lain, Komaidi melanjutkan, bahwa rata-rata GDP negara-negara yang telah mendorong percepatan bauran energi terbarukan adalah lebih dari US$30.000 per kapita. Sementara itu, lajutnya, GDP Indonesia masih berada di kisaran US$3.100 per kapita. Artinya, permintaan untuk menyerap energi yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan masih terbatas.
"Nah ini kita juga harus hati-hati dalam melihat ini. Helicopter view-nya harus lebih tinggi lagi, lebih luas. Jadi apakah iya kita harus memaksakan diri berpartisipasi menjadi yang paling leading di dalam konteks ini?" tanya Komaidi.
Komaidi juga mencoba melihat aspek sejarah dari penggunaan energi fosil oleh negara-negara di dunia. Dia menuturkan pada rentang waktu 1965 sampai dengan 2020, sebanyak 65% konsumsi batu bara dunia dicatat oleh negara-negara dari tiga kawasan utama yakni Eropa, Amerika, dan Eropa Timur.
Sementara itu, seluruh wilayah lainnya di dunia, termasuk Asia Pasifik dan Indonesia, hanya mengkonsumsi sebanyak 35 persen energi berbahan baku fosil.
Dia melanjutkan bahwa lebih jauh lagi yakni pada medio 1920, penggunaan energi batu bara dunia didominasi oleh Eropa. Dia mencontohkan Inggris yang menggunakan batu bara untuk memproduksi hampir seluruh energinya.
Lebih lanjut, Komaidi mengkhawatirkan bahwa lebih jauh dari isu persoalan lingkungan, ada agenda pertarungan ekonomi global yang tersembunyi dari upaya pemaksaan transisi energi ke negara-negara lainnya di dunia.
"Artinya kita harus fair melihat persoalan ini di tataran dunia dan harus cerdas. Selama ini mereka sudah menikmati energi fosil cukup murah dan cukup panjang, yang kemudian baru memaksa negara-negara lain, termasuk kita yang ada di Asia Pasifik untuk mengejar energi terbarukan," katanya.
Hal itu dikemukakan oleh Komaidi menyusul langkah pemerintah dan DPR yang melakukan upaya mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025.
Pasalnya, dalam mengejar percepatan transisi energi, regulator kini menggodok dua aturan yang dinilai dapat memukul keuangan negara, mengguncang keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, serta menaikkan beban tarif listrik masyarakat.
Komaidi menyebutkan bahwa kondisi reserve margin pembangkit listrik milik PLN saat ini mencapai 60 persen di wilayah Jawa-Bali dan 50 persen di wilayah Sumatra. Artinya, ada kelebihan cadangan listrik sebanyak 50 persen-60 persen dari seharusnya pada saat beban puncak pemakaian listrik, dikarenakan tidak terserap sepenuhnya oleh pasar.
Hal ini tentu saja menjadi beban bagi PLN karena satu-satunya perusahaan listrik milik negara itu dikenakan skema Take or Pay untuk kelebihan energi listrik yang telah dihasilkan oleh PLTU tetapi tidak terserap pasar.
Pada salah satu pasal di Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang sedang digodok, PLN diwajibkan membeli atau menyerap listrik yang dihasilkan dari pembangkit-pembangkit energi terbarukan.
Kemudian pada revisi Permen ESDM No. 49/2018 juga PLN akan dikenai skema tarif ekspor-impor net-metering listrik sebesar 1 : 1. Artinya, tidak ada selisih tarif yang akan menjadi sumber pendapatan PLN di saat menerima, menyimpan, maupun menyalurkan kembali listrik dari PLTS Atap milik konsumen.
Padahal di saat yang sama, PLN harus mengeluarkan biaya investasi untuk penyimpanan, jaringan distribusi, hingga SDM.
"Dengan adanya PLTS Atap dan aturan baru nanti, maka kontribusi dari pembangkit-pembangkit yang ada saat ini harus dikurangi. Padahal, itu masih berjalan dan bahkan belum kembali modal investasi," ujar Komaidi.
Selain itu, anggaran negara juga akan kian terbebani karena salah satu pasal pada RUU EBT menyebutkan bahwa negara akan membayar kelebihan selisih biaya pokok produksi listrik dan harga jual dari energi terbarukan.
"Nah ini yang saya kira perlu dikoordinasikan di antara kementerian teknis yakni di ESDM dengan Kementerian Keuangan. Karena ada konsekuensi fiskal di situ. Nanti kompensasi kerugian yang harus ditanggung oleh ekonomi nasional berapa? Berapa juga nantishockekonomi yang akan ditimbulkan?"
Abra Talattov, Ekonom INDEF, menyebutkan bahwa sejak 2017 pemerintah harus menanggung tambahan beban kompensasi PLN. Pasalnya, PLN sejak 2017 tidak bisa lagi menyesuaikan tarif secara otomatis karena sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Adapun selisih antara biaya pokok produksi dengan harga jual listrik ke masyarakat harus ditanggung oleh pemerintah.
"Ini tentu akan lebih menambah beban kompensasi pemerintah, di mana pada 2020 ini saja sebayak Rp17,9 triliun untuk kompensasi," ujarnya.
Namun, lanjut Abra, yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya tunggakan pembayaran kompensasi yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada PLN tersebut. Akibatnya, kelangsungan arus kas perusahaan menjadi terganggu, termasuk untuk beroperasi, berinvestasi, dan lainnya.
"Akhirnya menjadi beban ganda bagi PLN. BUMN yang diharapkan membawa keuntungan dan membagi dividen bagi bagi kas negara tetapi malah tertekan karena banyaknya penugasan-penugasan," katanya.
Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, menyebutkan bahwa transisi energi merupakan perubahan jangka panjang.
Oleh karena itu, pihaknya memastikan selalu melakukan penghitungan secara detil terhadap berbagai konsekuensi dari setiap langkah yang diambil.
"Tahap per tahap kita hitung betul secara detil bagaimana dampaknya terhadap fiskal, dampak terhadap masyarakat, dan lain-lain. Subsidi misalnya, kita sedang berpikir subsidi itu tidak dalam bentuk komoditi misalnya pupuk dll, tetapi ke orangnya, makanya pemerintah sedang menyiapkan validasi data supaya betul-betul tepat sasaran," tegasnya.
Dia mengakui bahwa akan ada pembengkakan biaya yang timbul dalam jangka pendek. Namun, lanjutnya, inilah saat yang tepat untuk mendorong percepatan penggunaan dan bauran energi terbarukan di dalam negeri.
"Tetapi kalau kita tidak mulai dari sekarang, kita akan semakin terlambat lagi. Karena kita tahu bahwa secara global pun hampir seluruh negara melakukan transformasi ini," paparnya.
Dia menyebutkan bahwa pihaknya sedang menyusun skenario transformasi ekonomi dalam rangka mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dan keluar dari midlle income trap pada 2045.
Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan
(asa)