Segendang sepenarian dengan Bhima, Peneliti Indef Rusli Abdullah juga tak sepakat dengan wacana tersebut karena potensi pendapatan yang tidak signifikan.
Menurut hitung-hitungannya, potensi penerimaan pajak dari sembako kemungkinan cuma Rp4,25 triliun.
Proyeksi ini muncul dari perhitungan rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat untuk konsumsi sembako. Rusli menjelaskan perhitungan ini muncul dari rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp214 ribu per bulan atau Rp2,56 juta per tahun pada 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila dikalikan dengan jumlah populasi masyarakat Indonesia, ia memperkirakan total pengeluaran masyarakat untuk sembako mencapai Rp168,5 triliun. Lalu misal dikenakan tarif PPN 10 persen, maka potensi penerimaan pajak sembako mencapai Rp16,85 triliun pada 2019.
Dengan formulasi yang sama namun ada penyesuaian rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat pada 2020, ia mendapati total pengeluaran bisa mencapai Rp211,07 triliun, sehingga potensi PPN sebesar Rp21,1 triliun pada 2020.
"Berarti kenaikan potensi PPN Rp4,2 triliun dalam setahun, ini kurang lebih kontribusinya dalam mendorong tax ratio hanya 1,28 persen dari total pajak 2019 dan 1,97 persen dari pajak 2020. Ini terbilang kecil, jadi tolak PPN sembako," ujar Rusli.
Selain itu, menurutnya, kebijakan ini juga kurang tepat karena dirancang di tengah krisis ekonomi akibat pandemi covid-19. Bahkan, ia memperkirakan dampaknya tetap akan memberatkan masyarakat meski diterapkan pada saat ekonomi mulai pulih.
"Ini membuat masyarakat tertekan dan takutnya ada inflasi," tuturnya.
Lebih lanjut, menurut Rusli, pemerintah lebih baik melakukan formalisasi petani dan pedagang ketimbang menambah beban mereka dengan memungut PPN sembako.
Jika ingin menarik pajak yang mencakup semua kalangan, lebih baik dahulukan kebijakan yang bisa membuat mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), sehingga rasio kepatuhan pun ikut terangkat.
(agt/wel/agt)