Sementara, Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira sangsi bahwa pemerintah hanya akan mengenakan PPN untuk bahan sembako premium. Sebab, potensi penerimaan dari produk makanan premium tak akan signifikan.
"Masyarakat itu semakin naik pendapatannya, maka konsumsi makanan akan lebih sedikit karena lebih peduli kesehatan. Jadi potensi penerimaan dari PPN tak akan signifikan," kata Bhima.
Maka itu, ia curiga objek PPN akan diperluas ke sembako yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, atau yang biasa dijual di pasar tradisional. Pasalnya, potensi terbesar justru ada di bahan pokok yang sering dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena ujungnya yang dipajaki yang dikonsumsi kelas menengah, yang paling banyak dikonsumsi, karena pemerintah juga mempertimbangkan biaya PPN," ucap Bhima.
Ia menjelaskan bahwa selalu ada biaya yang dikeluarkan pemerintah ketika menetapkan pajak pada suatu objek. Biaya itu meliputi petugas pajak, administrasi pajak, pengawasan, dan gaji petugas pajak yang diberikan tugas khusus untuk PPN sembako.
"Jadi berapa potensi penerimaan vs biaya yang dikeluarkan. Ujungnya yang kena kelas menengah, kalau kalau hanya sedikit yang dipajaki potensi tidak signifikan. Jadi rugi," papar Bhima.
Jika ini terjadi, ia pun ikut mengamini pendapat Yusuf. Masyarakat otomatis akan mengurangi konsumsi mereka.
Imbasnya bukan hanya pada sektor makanan dan minuman (mamin), tetapi juga pada industri lain. Masyarakat akan menahan belanja baju atau furnitur demi bisa memenuhi kebutuhan pokoknya.
Lihat Juga : |
"Masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain, akan berimbas luas ke seluruh produsen. Bukan hanya makanan, tapi furnitur kena, pakaian jadi kena dampak, dan produsen otomotif, properti semua kena akibat PPN bahan makanan," jelas Bhima.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah pikir-pikir lagi dalam merencanakan kebijakan PPN untuk bahan sembako. Terlebih, ekonomi Indonesia belum pulih sepenuhnya.
Masih banyak masyarakat yang terpuruk akibat pandemi covid-19. Sebagian ada yang usahanya bangkrut, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), gaji dipotong, dirumahkan, dan menjadi pengangguran.
Jadi, pemerintah harus membuat kebijakan secara hati-hati. Lagi pula, Bhima menilai data pangan di Indonesia masih kacau.
Menurutnya, pemerintah harus bisa merinci terlebih dahulu mana saja bahan pokok premium, medium, dan yang biasa dikonsumsi masyarakat kecil sehari-hari. Hal ini agar pengenaan PPN sembako tepat sasaran.
"Harus ada pembenahan data pangan dulu, tanpa ada data yang akurat, maka kebijakan pajak ini akan salah sasaran," tutup Bhima.