Konglomerat Diuber Satgas BLBI, Klan Soeharto hingga Bakrie
Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) memanggil sejumlah konglomerat untuk menyelesaikan hak tagih negara.
Pemanggilan dimulai dengan putra Presiden Kedua RI Tommy Soeharto yang dimintai keterangan pada 26 Agustus 2021 lalu. Namun, Tommy berhalangan hadir dan diwakili oleh kuasa hukumnya.
Tommy disebut memiliki utang kepada negara sebesar Rp2,61 triliun. Pemanggilan kali ini merupakan yang ketiga kalinya serta memanggil perusahaan Tommy PT Timor Putra Nasional.
Lihat Juga : |
Selanjutnya, Wakil Komisaris PT Bank Umum Nasional (BUN) Kaharudin Ongko dipanggil untuk hadir ke Kementerian Keuangan dalam rangka menyelesaikan utang kepada negara sebesar Rp8,2 triliun pada 7 September 2021.
BLBI turut memanggil eks pemegang saham dan dewan direksi PT Bank Asia Pacific Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono untuk hadir dan memenuhi kewajibannya pada Kamis (9/9).
"Menyelesaikan hak tagih negara dana BLBI setidak-tidaknya sebesar Rp3,57 triliun dalam rangka PKPS PT Bank Asia Pacific (BBKU)," tulis pengumuman yang ditandatangani Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban seperti dikutip CNNIndonesia.com.
Selain itu, Satgas BLBI juga memanggil Tutut Soeharto yang memiliki utang kepada negara lewat sejumlah perusahaan. Di antaranya PT Citra Mataram Satriamarga memiliki utang sebesar Rp191,61 miliar, PT Marga Nurindo Bhakti sebesar Rp471,47 miliar, dan PT Citra Bhakti Margatama Persada sebesar Rp14,79 miliar dan US$6,51 juta.
Tidak sampai di situ, Satgas BLBI melanjutkan pemanggilan kepada keluarga konglomerat Bakrie yakni Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra Usmansyah Bakrie untuk hadir pada Jumat (17/9). Utang yang harus dibayarkan atas Bank Putera Multikarsa sebesar Rp22,67 miliar. Bersamaan dengan itu, jajaran PT Usaha Mediatronika Nusantara turut dipanggil Satgas BLBI.
Setelah Nirwan-Indra Bakrie, sejumlah konglomerat lainnya dipanggil BLBI pada hari yang sama. Pengusaha baja Thee Ning Khong diwajibkan mengembalikan dana negara sebesar Rp90,66 miliar dan The Kwen Le sebesar Rp63,23 milia.
Selanjutnya, Sjamsul Nursalim (Bank Dewa Rutji) mengutus kuasa hukumnya untuk memenuhi panggilan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) pada hari ini, Kamis (16/9). Menurut DJKN, Sjamsul masih berutang kepada negara sebesar Rp517,72 miliar.
Mangkir dalam panggilan yang sama, ada Sujanto Gondokusumo (Bank Dharmala) masih berutang hampir Rp1 triliun, tepatnya Rp904,47 miliar.
Selain nama-nama tersebut, dalam dokumen penanganan hak tagih negara bantuan BLBI yang sempat beredar, terdapat sejumlah nama lainnya yang disinyalir merupakan obligor BLBI.
Di antaranya Trijono Gondokusumo (Bank Surya Putra Perkasa) menjadi debitur atau obligor BLBI sebesar Rp4,8 triliun, disusul oleh Hindarto Tantular/Anton Tantular (Bank Sentral Dagang) sebesar Rp1,4 triliun, dan Marimutu Sinivasan (Grup Texmaco) sebesar Rp31 triliun dan US$3,9 miliar.
Dirjen Kekayaan Negara sekaligus Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban mengatakan walau ada obligor yang sudah meninggal dunia, hak tagih negara akan tetap dibebankan kepada ahli warisnya.
Tak hanya melakukan pemanggilan, Satgas juga menyita sejumlah aset yang menjadi hak negara.
Pada akhir Agustus lalu, BLBI secara resmi menyita 49 bidang tanah di berbagai wilayah di Indonesia dengan luas 5.291.200 meter persegi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah akan serius dan secara terus menerus berkoordinasi antar lembaga untuk Satgas BLBI.
Sebagai informasi, BLBI adalah dana yang pernah digelontorkan Bank Indonesia sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank untuk berbagi beban pada masa Krisis Moneter 1997-1998.
Namun hingga saat ini, baru sebagian kecil bank yang telah mengembalikan dana tersebut. Pemerintah membeberkan dana BLBI yang harus dikembalikan obligor dan debitur mencapai Rp110,45 triliun.