Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengaku trauma dengan pengambilalihan Blok Mahakam di Kalimantan Timur pada 2018 lalu. Menurutnya, trauma lebih dikarenakan proses transisi yang tidak lancar (smooth).
Ia bercerita dua tahun sebelum ambil alih, pengelola sebelumnya, yaitu E&P Indonesie dan Inpex Corporation berhenti berinvestasi. Alhasil, tidak ada sama sekali pengeboran sumur baru.
Tak heran, menurut Nicke, saat Pertamina masuk ke Blok Mahakam terjadi penurunan produksi (declining rate) hingga 57 persen. Ia pun mau tidak mau harus melakukan 200-220 pengeboran baru per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu pun hanya mampu menurunkan declining rate menjadi 25 persen dan angka tersebut masih tak berubah hingga hari ini.
"Mahakam memang traumatic, tapi kami melihat ini sudah terjadi, lesson learned-nya apa sih? Lesson learned dari semua alih kelola adalah masa transisi yang tidak smooth (lancar)," imbuh Nicke pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI, Rabu (29/9).
Kendati demikian, ia mengatakan hal tersebut dijadikan sebagai pengalaman berharga yang tak mau diulang pihaknya. Pada transisi pengambil alihan Blok Rokan, Nicke mengklaim transisi jauh lebih baik.
"Pengalaman Mahakam kami masuk pun tidak boleh, untuk Rokan kami lakukan lebih baik," terang dia.
Sebelumnya, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) mendapat mandat untuk mengelola Blok Mahakam per 1 Januari 2018 pasca ditinggal Total E&P Indonesie.
Sebagai informasi, dua blok tersebut selama 50 tahun sebelumnya dikuasai kontraktor asing asal Perancis dan Jepang.