Krisis Keuangan Intai Afghanistan Usai Taliban Berkuasa

CNN Indonesia
Selasa, 05 Okt 2021 20:34 WIB
Afghanistan mengalami krisis keuangan setelah beberapa minggu pasukan AS meninggalkan negara tersebut.
Afghanistan mengalami krisis keuangan setelah beberapa minggu pasukan AS meninggalkan negara tersebut.(AP/Felipe Dana).
Jakarta, CNN Indonesia --

Afghanistan mengalami krisis keuangan setelah beberapa minggu pasukan AS meninggalkan negara tersebut.

Mengutip Bloomberg, Selasa (5/10), pasokan uang tunai di Afghanistan yang menipis dan peningkatan isolasi internasional membuat pekerja tak dibayar. Hal ini juga membuat perusahaan lokal tutup dan bank membatasi penarikan.

Situasi ini mengancam memutuskan Afghanistan dari dunia luar karena operator nirkabel masih berjuang untuk membayar pemasoknya. Parahnya lagi, harga sebagian bahan pokok terancam naik. Hal ini akan memicu krisis ekonomi dan kemanusiaan di Afghanistan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ekonomi Afghanistan selama ini ditopang oleh bantuan internasional dan dolar AS. Mata uang negeri Paman Sam berbaur dengan mata uang lokal dan digunakan untuk membayar barang dan jasa impor.

Anggota dewan bank sentral di Afghanistan Shah Mehrabi memperkirakan dolar AS menyumbang sekitar dua pertiga dari simpanan dalam sistem perbankan dan setengah dari semua pinjaman di Afghanistan.

"Dolarisasi masih lazim di Afghanistan dan ekonomi masih bergantung pada dolar AS," kata Mehrabi.

Namun, AS dan negara lain belum mengakui Taliban sebagai otoritas sah di Afghanistan. AS dan negara lain khawatir tentang keterlibatan Taliban dalam terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kini, Taliban kehilangan akses ke lebih dari US$9 miliar cadangan bank sentral setelah Presiden AS Joe Biden membekukan aset yang disimpan di bank-bank AS pada pertengahan Agustus.

Beberapa negara lain juga mengikuti jejak AS. Pendanaan dari Bank Dunia dan IMF juga ditahan untuk Afghanistan. Demi menghemat cadangan dana yang tersisa, Taliban melarang warga Afghanistan untuk mengambil dolar AS dan membatasi penarikan uang hingga US$200 per minggu.

"Krisis likuiditas memburuk dan banyak bank tak mampu bayar deposan," kata mantan CEO Bank-e-Millie Afghan Ahmad Khesrow Zia.

Juru Bicara Taliban Bilal Karimi mengungkapkan Afghanistan bisa mengalami krisis ekonomi terburuk jika dana publik tetap dibekukan dan bantuan dihentikan.

Ia mengakui Taliban belum mampu membayar gaji pemerintah sejak mengambil alih kendali. Namun, pihaknya akan segera membayar gaji karyawan tingkat rendah, sedangkan untuk karyawan dengan bayaran lebih tinggi berpotensi ada pemangkasan gaji.

Sebelumnya, Taliban mengatakan pendapatan dari bea dan cukai cukup untuk menutup gaji sektor publik. Namun, tak jelas seberapa banyak mereka bisa mendapatkan dana dari sumber pendapatan lain, termasuk eksploitasi mineral dan pungutan pajak tanpa harus menculik dan memproduksi obat terlarang.

Obat-obatan poppy dan metamfetamin adalah sumber pendapatan terbesar Taliban. Namun, setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, Juru Bicara Zabihullah Mujahid memastikan rezim baru tak akan mengubah Afghanistan menjadi negara narkotika.

Sementara, dikutip dari Business Standard yang mengutip The Wall Street Journal (WSJ), Kabul sebagai ibu kota terancam gelap gulita karena Taliban tak membayar iuran pemasok listrik Asia Tengah.

Eks Kepala Eksekutif Otoritas Kekuasaan Negara Da Afghanistan Breshna Sherkat (DABS) Daud Noorzai mengatakan situasi itu akan menyebabkan bencana kemanusiaan.

Impor listrik dari negara tetangga, seperti Uzbekistan, Tajikistan, dan Turkmenistan menyumbang setengah dari konsumsi listrik Afghanistan.

Menurut WSJ, produksi listrik dalam negeri terkena dampak kekeringan tahun ini. Afghanistan sendiri tak memiliki jaringan listrik nasional dan Kabul hampir sepenuhnya bergantung pada listrik impor dari Asia Tengah.

[Gambas:Video CNN]



(aud/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER