Tauhid menambahkan efek jangka panjangnya adalah harga tiket mahal. Pasalnya, ketika biaya konstruksi naik, APBN menambal, dan subsidi ikut digelontorkan, hal ini tidak serta merta membuat harga tiket terjangkau.
Dengan begitu, masih ada potensi kenaikan harga tiket yang dibebankan kepada penumpang. Proyeksinya, harga tiket yang semula mungkin bisa dibanderol di kisaran Rp300 ribu bakal naik jadi Rp400 ribu, misalnya.
"Harga segini tentu tidak feasible (tidak layak), harganya terlalu mahal. Apalagi ada moda transportasi lain ke sana Bandung, seperti kereta api reguler dan jalan tol," ucap Tauhid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Tauhid khawatir harga tiket kereta cepat Jakarta-Bandung yang mahal akan membuat pengelola melakukan kompensasi ke biaya tiket kereta api reguler yang saat ini sudah beroperasi. Padahal, harga tiket kereta api reguler saat ini sudah cukup rendah, yakni di kisaran Rp90 ribu sampai Rp125 ribu per penumpang dewasa.
"Bukan tidak mungkin nantinya ada kompensasi bisnis dari harga tiket kereta api reguler, sehingga harga tiketnya juga menjadi lebih mahal," imbuhnya.
Bersamaan dengan kondisi dan sejumlah dampak yang mungkin muncul ini, Bhima menyarankan agar pemerintah lebih baik membatalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Apalagi, ada pertimbangan besaran dana negara yang besar untuk penanganan pandemi dan pengeluaran lain yang lebih prioritas.
Toh, moda transportasi Jakarta-Bandung juga sudah tersedia saat ini. Sementara bila dipaksa pun, belum tentu proyek ini akan ramai diminati masyarakat karena lebih cenderung menyasar ke kalangan bisnis dan menengah atas saja.
"Proyek ini layak dihentikan. Bukan hanya soal krisis akibat pandemi, tapi kemampuan bayar utang pemerintah menurun. Proyek yang dibiayai melalui pinjaman sangat berisiko terhadap keberlanjutan fiskal pemerintah," jelas Bhima.
Menurut Bhima, pembatalan proyek tidak akan memberi dampak buruk pada kepercayaan investor kepada Indonesia di masa depan. Sebab, sejumlah negara juga mengkaji kembali proyek infrastrukturnya di tengah pandemi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan utang pembangunan infrastruktur mereka, misalnya Malaysia, Myanmar, dan Pakistan.
"Apakah ini akan merubah perspektif investor terhadap kepastian investasi? Saya kira tidak, investor yang berorientasi pada tingkat keuntungan juga mempertimbangkan apabila suatu project biayanya terlampau besar wajar apabila dibatalkan sebelum cost-nya membengkak lagi dan justru merugikan dalam jangka panjang," terangnya.
Di sisi lain, untuk konstruksi yang sudah terlanjur dibangun, menurutnya bisa dialihkan untuk pembangunan lain. Mekanisme ini memungkinkan selama ada penjaminan aset dalam pembangunan proyek.
(uli/ard)