Perusahaan properti China tengah menghadapi krisis. Sejumlah perusahaan properti besar dan kenamaan mengalami masalah keuangan.
Evergrande menjadi perusahaan pertama yang masalah keuangannya terkuak. Sejak saat itu, sejumlah perusahaan properti banyak yang mengumumkan kondisi serupa dan membuat kekhawatiran di kalangan investor.
Lantas, perusahaan properti apa saja yang mengalami masalah keuangan? Berikut rinciannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krisis keuangan yang menimpa raksasa properti ini terungkap pada September lalu. Mereka memiliki tumpukan utang yang menggunung hingga US$300 miliar.
Kalau dirupiahkan, utang itu Rp4.265 triliun (kurs Rp14.218 per dolar). Jumlah tersebut termasuk US$20 miliar utang internasional dalam bentuk obligasi.
Pekan ini , Evergrande gagal membayar utang senilai US$148 juta beserta bunganya dalam bentuk obligasi yang didominasi dolar AS. Ini menjadi catatan merah ketiga bagi Evergrande setelah sebelumnya gagal bayar pada September.
Akibat masalah itu, kini saham Evergrande jatuh hingga 80 persen dan nilai marketnya juga turun menjadi US$5 juta. Sahamnya pun masih dihentikan sementara dari perdagangan dan dikabarkan rival pengembangnya ingin membeli manajemen properti Evergrande.
Pengembang properti mewah Fantasia Holdings turut tertatih-tatih dengan kondisi keuangannya. Berbasis di Shenzhen, perusahaan ini gagal membayar utang sejumlah US$315 juta atau setara Rp4,47 triliun.
Utang tersebut terdiri atas US$206 juta pengembalian obligasi dan US$109 juta pinjaman dari pengembang terbesar kedua China, Country Garden.
Lembaga pemeringkat S&P dan Moody menurunkan rating kredit default Fantasia. Kini saham perusahaan turun hampir 60 persen dari nilai marketnya sebesar US$420 juta.
Perusahaan yang berbasis di Beijing ini turut mengalami masalah bayar utang. Modern Land meminta tambahan waktu kepada investor untuk mengembalikan US$250 juta dalam bentuk obligasi yang wajib dibayarkan 25 Oktober mendatang.
Perpanjangan waktu diminta untuk memberi ruang bagi Modern Land dalam membenahi keuangannya. Bahkan pimpinan dan presiden Modern Land turut merogoh kocek pribadinya untuk membantu keuangan perusahaan dengan memberikan pinjaman sebesar US$124 juta.
Saham Modern Land turun hampir 50 persen dan nilai marketnya terpangkas hingga US$160 juta.
Pengembang properti lain yang masuk dalam daftar ini adalah Sinic Holdings yang dikabarkan gagal membayar obligasi senilai US$250 juta atau setara Rp3,55 triliun. Tenggat waktu yang diberikan akan berakhir hingga 18 Oktober 2021.
Pekan lalu, lembaga pemeringkat Fitch menurunkan rating Sinic menjadi 'C'. Rating ini hanya sedikit lebih baik dari 'restrictive default' yang artinya perusahaan gagal bayar utang namun belum masuk tahap bagnkrut.
Di antara yang lain, Sinic menjadi yang paling sulit karena harus kehilangan sahamnya hingga 90 persen. Kini nilai pasarnya bahkan hanya tersisa US$230 juta.
(fry/agt)