ANALISIS

NIK, Kartu 'Sakti' Layanan Publik dan Potensi Diskriminasi

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 21 Okt 2021 07:40 WIB
Pengamat menilai kewajiban pencantuman NIK dan NPWP dalam pelaksanaan layanan publik bisa menimbulkan diskriminasi. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewajibkan Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dicantumkan dalam pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 Tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan Atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik.

Dalam Pasal 3 tertulis bahwa setiap penyelenggara harus menambahkan atau mencantumkan NIK atau NPWP dalam memberikan pelayanan publik.

Penyelenggara dalam hal ini adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk selama-mata untuk kegiatan pelayanan publik.

Sementara, pelayanan publik adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Dalam Pasal 4 dijelaskan bahwa NIK harus dicantumkan sebagai penanda identitas bagi orang pribadi yang belum memiliki NPWP. Sementara, bagi yang sudah memiliki NPWP, maka penyelenggara wajib mencantumkan NIK dan NPWP.

Kemudian, NPWP harus dicantumkan sebagai penanda identitas bagi badan dan orang asing yang tidak memiliki NIK. Ini berarti ada beberapa opsi dalam mencatatkan identitas masyarakat dalam menggunakan fasilitas pelayanan publik.

Untuk merealisasikan hal ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dukcapil akan bertanggung jawab atas keakuratan dan validitas data kependudukan berbasis NIK. Kemudian, DJP akan bertanggung jawab atas keakuratan dan validitas NPWP.

Keduanya akan menyusun tata cara pelaksanaan pemadanan dan pemutakhiran data kependudukan dan basis data perpajakan secara berkelanjutan.

Dalam Pasal 12 dituliskan bahwa penyelenggara harus menyelesaikan pencantuman NIK atau NPWP untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di Indoenesia dalam jangka waktu dua tahun sejak perpres ini berlaku.

Jika perpres ini ditetapkan dan diundangkan pada 9 September 2021, maka penyelenggara harus menyelesaikan pencantuman NIK atau NPWP untuk penerima pelayanan publik pada September 2023.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan perpres ini adalah turunan dari Pasal 64 Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

"Yang memerintahkan semua layanan publik menggunakan NIK dan dilakukan integrasi data," ungkap Zudan kepada CNNIndonesia.com Rabu (20/10).

Menurut Zudan, penggunaan NIK secara masif sebenarnya sudah berlangsung sejak 2015 lalu. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2013.

Sejauh ini, sudah ada 3.905 lembaga yang bekerja sama dengan Dukcapil terkait penggunaan NIK.

Beberapa lembaga tersebut, antara lain PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Taspen (Persero), Polri, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Berdasarkan catatan Dukcapil, jumlah warga yang sudah memiliki NIK lebih dari 272 orang. Namun, Zudan tak menjelaskan lebih lanjut berapa warga yang belum memiliki NIK.

Hal yang pasti, kata Zudan, pencantuman NIK dalam menerima pelayanan publik adalah wajib. Dengan kata lain, seluruh masyarakat harus memiliki NIK untuk mendapatkan pelayanan publik.

"Kalau sudah uu dan perpres sifatnya wajib. Nggak ada alasan penduduk tidak punya NIK. Tinggal datang ke Dinas Dukcapil, langsung dibuatkan NIK," jelas Zudan.

Sayang, Zudan tak menjelaskan lebih lanjut mengenai proses penyempurnaan dari kewajiban pencantuman NIK atau NPWP untuk pelayanan publik ke depannya.

Sementara, baru-baru ini DPR juga telah menyetujui RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU. Dalam aturan tersebut, pemerintah akan menjadikan NIK sebagai NPWP.

Integrasi data kependudukan dengan data wajib pajak akan dilakukan secara lintas kementerian.

Dengan aturan ini, maka masyarakat dapat menikmati pelayanan publik di kantor pajak hanya dengan NIK. Artinya, masyarakat tak lagi perlu NPWP untuk mengurus pembayaran pajak.

Dihubungi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan pihaknya masih berkoordinasi dengan Dukcapil untuk mengimplementasikan NIK sebagai NPWP.

"DJP masih terus berkoordinasi dengan Kemendagri mengenai kesiapan NIK sebagai NPWP," terang Neilmaldrin.

Ia belum bisa memastikan kapan tepatnya implementasi NIK sebagai NPWP akan mulai diberlakukan. Hal yang pasti, proses integrasi sebenarnya sudah terjadi sejak 2013 lalu.

"Sejauh ini (integrasi) berjalan baik karena proses integrasi sudah berjalan sejak 2013 lewat MoU dengan Ditjen Dukcapil," kata Neilmaldrin.

Ketika sudah diimplementasikan, sambung Neilmaldrin, bukan berarti setiap pemilik NIK otomatis dikenakan pajak. Pengenaan pajak tetap akan menyesuaikan penghasilan masyarakat.

"Untuk pengenaan pajak, pemilik NIK harus memenuhi syarat subjektif (termasuk sebagai subjek pajak) dan objektif (mendapatkan penghasilan setahun di atas batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP)," jelas Neilmaldrin.

Diskriminatif dan Berpotensi Picu Kesalahpahaman


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :