ANALISIS

NIK, Kartu 'Sakti' Layanan Publik dan Potensi Diskriminasi

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 21 Okt 2021 07:40 WIB
Pengamat menilai kewajiban pencantuman NIK dan NPWP dalam pelaksanaan layanan publik bisa menimbulkan diskriminasi. Berikut penjelasannya.
Pengamat menilai kewajiban pencantuman NIK dan NPWP dalam pelaksanaan layanan publik bisa menimbulkan diskriminasi. Ilustrasi. ( iStockphoto/Muhsin Rina).

Sementara, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat aturan ini terkesan diskriminatif. Pasalnya, belum semua orang memiliki NIK.

Jika seluruh pelayanan publik wajib mencantum NIK, maka masyarakat yang belum punya NIK tak bisa mendapatkan pelayanan tersebut. Dengan demikian, urusan orang tersebut akan terhambat.

"Masyarakat adat, komunitas-komunitas di pedalaman, pulau-pulau terluar itu masih banyak (belum punya NIK)," ujar Trubus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seharusnya, kata Trubus, pemerintah fokus dulu mengurus NIK untuk masyarakat. Minimal, 95 persen-99 persen masyarakat sudah punya NIK.

"Pemerintah harus melakukan kampanye door to door, pihak RT RW harus ikut menyampaikan itu (pentingnya punya NIK)," terang Trubus.

Ia mengusulkan pemerintah melibatkan relawan dan anak kuliah untuk membantu sosialisasi pentingnya punya NIK. Selain itu, pemerintah daerah (pemda) juga wajib berperan aktif mencatat warga yang belum punya NIK.

"Pemerintah harus jemput bola, turun ke bawah. Kalau menunggu masyarakat ka Dinas Dukcapil untuk mengurus NIK bisa lama," ujar Trubus.

Berdasarkan proyeksi Trubus, pemerintah butuh waktu lima tahun agar seluruh masyarakat memiliki NIK. Trubus menyebut prosesnya tak mudah.

"Ini tugas berat pemerintah untuk sampai semua masyarakat punya NIK, itu masih berat, masih jauh," kata Trubus.

Ia juga mengingatkan pemerintah agar menyelesaikan kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait Perlindungan Data Pribadi (PDP). Jika aturan ini belum terbit, Trubus khawatir ada kebocoran data NIK masyarakat pada waktu mendatang.

"Indonesia belum ada aturan perlindungan data pribadi. Itu jadi masalah. Potensi kebocoran juga ada, jadi yang harus dibenahi data pribadi dulu, ini justru NIK dulu," jelas Trubus.

Namun, jika pemerintah memaksakan penggunaan NIK di seluruh pelayanan publik dalam waktu dekat, maka siap-siap terjadi kendala di lapangan. Petugas akan terlibat adu mulut dengan masyarakat.

"Ada potensi-potensi kesalahpahaman antara petugas dengan mereka yang belum punya NIK," ucap Trubus.

Lalu, penolakan dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Masyarakat juga terancam tak bisa menggunakan pelayanan publik.

Senada, Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan pelayanan publik harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat yang membutuhkan. Pelayanan publik ini seperti bank, rumah sakit, sekolah negeri, hingga pembuatan dokumen publik.

"Pak Jokowi ini kadang tidak melihat di lapangan orang untuk mendapatkan NIK saja susah, alasannya karena akses, petugas kelurahan atau desa tidak ada, hingga mereka tidak paham mengenai pencatatan kependudukan ini," papar Nailul.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memperbaiki hal-hal mendasar dulu. Misalnya, fokus mengurus masyarakat yang belum punya NIK.

Menurut Nailul, tempat pembuatan NIK harus buka setiap hari. Dengan begitu, masyarakat bisa kapan saja mengurus NIK.

"Belum lagi sudah punya KTP pun harus fotokopi untuk dapat pelayanan rumah sakit daerah. Jadi banyak sekali yang harus dibenahi," terang Nailul.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk segera merampungkan aturan perlindungan data pribadi. Pasalnya, data Dukcapil bisa dibagikan ke pihak lain.

"Selama belum ada UU PDP, tidak ada jaminan data masyarakat aman," imbuh Nailul.

Jika semua warga sudah punya NIK, aturan perlindungan data pribadi sudah ada, dan integrasi data sudah selesai, maka pencantuman NIK di seluruh pelayanan publik bisa dilakukan.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER