Ujungnya, menurut Toto, mau tidak mau, pemerintah selaku pemegang saham perusahaan terbesar harus rela memailitkan Garuda. Begitu juga dengan pemegang saham lain, termasuk para investor di pasar modal.
Hal ini selanjutnya bisa diteruskan ke opsi selanjutnya, yaitu mengganti Garuda dengan Pelita Air. Menurutnya, wacana ini sebenarnya sah-sah saja dilakukan.
Toh, kondisi keuangan Pelita Air cukup sehat saat ini, meski skala bisnis perusahaan sejatinya tidak sebesar perusahaan yang hendak digantikan. Begitu juga dengan status bisnisnya, yang cuma melayani penerbangan charter, bukan penerbangan berniaga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi Pelita Air Service bisa saja dinaikkan statusnya sebagai full service airlines. Ini bisa menjadi rencana alternatif cadangan apabila restrukturisasi GIAA mengalami jalan buntu," ucapnya.
Sependapat, Alvin juga menilai Pelita Air bisa menjadi opsi pengganti Garuda ke depan. Apalagi, menurut informasi yang didengarnya, Pelita Air baru saja memesan pesawat Airbus A320 dan mengajukan izin menjadi operator penerbangan niaga berjadwal.
"Pelita Air sedang mempersiapkan diri untuk memasuki bisnis penerbangan niaga berjadwal," ungkap Alvin.
Tapi, Alvin melihat tantangan bagi Pelita Air untuk bisa menggantikan posisi Garuda. Misalnya, dari segi permodalan, armada, sumber daya manusia, hingga organisasi.
"Akan lebih baik jika Pelita Air bertransfomasi secara bertahap daripada mengembangkan bisnis secara ekstrem," ucapnya.
Sementara Tauhid melihat kalau pun diganti Pelita Air, kemungkinan skemanya tidak akan mengakuisisi perusahaan, namun hanya mengambilalih rute-rute penerbangan yang sebelumnya dilayani Garuda.
"Dan ini memang lebih mudah, karena dia (Pelita Air) beban keuangan di masa lalu pun tidak ada. Jadi lepas landasnya tanpa beban, dan itu berbeda," imbuhnya.
Namun, masalah kapan hal ini akan dieksekusi pemerintah memang kembali lagi hasil proses restrukturisasi utang dan ke tangan Presiden Jokowi.
"Karena pada akhirnya yang ambil keputusan presiden, tapi saat ini pun ada banyak yang harus dipikirkan pemerintah, misalnya proyek kereta cepat, utang ke BUMN energi, dan lainnya, tinggal masalah prioritas," terangnya.
Opsi lain yang bisa dilakukan sebenarnya adalah mengalihkan operasional sebagian rute penerbangan Garuda ke anak usaha Garuda, PT Citilink Indonesia. Dari segi status, setidaknya anak usaha sudah melayani penerbangan berniaga, meski levelnya low cost carrier (LCC) bukan full service seperti Garuda.
"Bisa juga Citilink menjadi alternatif kalau misalnya Garuda gagal survive. Namun tentu harus diperhatikan bahwa Citilink sebagai subsidiary Garuda, apakah secara legal bisa dilepaskan dari konsolidasi Garuda Group saat misalnya terjadi tuntutan kepailitan?" kata Toto.
Sepakat, Alvin juga menilai Citilink sebenarnya jauh lebih siap mengambilalih rute penerbangan yang kini dilayani Garuda. Bahkan, sinergi antara Citilnik dan Pelita Air bukan hal yang tak mungkin dilakukan.
Misalnya, Citilink naik kelas dari LCC ke full service, sementara Pelita Air 'alih layanan' dari penerbangan charter ke LCC.
"Citilink dapat berbagi peran dengan Pelita Air untuk membangun grup usaha yang berdaya saing kuat dalam industri," pungkasnya.