Pandemi Covid-19 diprediksi memperlebar jurang kesenjangan antara pihak yang memiliki akses digital dan keuangan dengan mereka yang tidak punya atau terbatas aksesnya. Kesenjangan diprediksi akan membentuk pertumbuhan dengan model menyerupai huruf "K".
Seperti percabangan huruf "K", kelompok atau negara yang memiliki keistimewaan akses akan melonjak naik, sedangkan yang tidak justru akan terus turun.
Vice President Asian Development Bank Bambang Susantono menyampaikan hal itu dalam webinar Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXI Selasa 31/8/2021 (Kompas 1/9/2021).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang menjelaskan, sebelum pandemi, dunia ekonomi mengenal pertumbuhan dengan model berbentuk seperti huruf V, yaitu kondisi sempat merosot tetapi dengan cepat melonjak tumbuh kembali. Selain itu, dunia juga mengenal pertumbuhan dengan model seperti simbol centang, atau simbol merek olahraga Nike,dengan pertumbuhan sempat merosot, tetapi perlahan bangkit.
Kelompok yang tidak memiliki atau terbatas akses digital dan keuangan adalah kelompok yang mengalami penurunan pendapatan; menurunnya sektor usaha dan sektor pertanian, mengalami dampak buruk penurunan kesehatan dan absennya bantuan sosial.
Sebaliknya, kelompok yang memiliki akses digital dan keuangan adalah kelompok usaha besar yang memperoleh paket stimulus, insentif, dan santunan bagi tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan COVID-19 .
Di puncak lereng percabangan huruf K ke arah atas adalah kelompok berpenghasilan tinggi dan memiliki kekuasaan.
Di tengah percabangan huruf K ke arah bawah adalah kelompok usaha informal yang mengalami kelesuan, kelompok wanita dan rentan lainnya, kelompok yang tidak mendapatkan jaminan sosial, tidak memiliki tabungan dan asuransi, kelompok yang tidak mendapatkan perhatian dalam masalah lingkungan, kekurangan pangan gizi dan pendidikan.
Di bagian terdalam dari huruf K adalah kelompok penyandang penyalahgunaan narkotika, korban kekerasan terhadap wanita dan anak anak, korban perdagangan manusia dan kelompok miskin yang kondisinya semakin memburuk.
Di balik berbagai asuransi yang melindungi petani dan sektor produktif --yang tentu sangat dibutuhkan ketika kesenjangan semakin melebar dan dalam-- masih terdapat asuransi bermasalah yang bukannya memberikan proteksi melainkan menambah beban hidup masyarakat akibat gagal bayar.
Contohnya terjadi pada Jiwasraya, Kresna Life, Bumiputera, dan Wanaartha Life yang menyangkut puluhan juta warga belum terselesaikan hingga kini.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim pada kesempatan Focus Group Discussion (FGD) "Booming dan Krisis Industri Asuransi dalam Perspektif UUD NKRI Tahun 1945 dan Pancasila', di Komplek MPR RI (8/9/21) menjelaskan berbagai pokok permasalahan terkait industri asuransi.
Antara lain, kesalahan pembentukan harga produk atau mispricing, lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, adanya rekayasa harga saham lewat jual beli saham dengan dressing reksadana yang masif, serta tekanan likuiditas dari produk asuransi yang kemudian berdampak terhadap penurunan kepercayaan nasabah yang menyebabkan merosotnya penjualan.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam FGD tersebut mengemukakan bahwa dalam dua dekade ini industri asuransi mengalami evolusi ke arah produk hybrid, yang dimulai sejak munculnya produk Unit Link.
Tantangan muncul ketika produk ini kurang sukses memenuhi harapan sebagian besar pemegang polis.
Mayoritas pemegang juga masih memegang pemahaman sederhana bahwa produk asuransi adalah sejenis atau setara dengan produk perbankan. Ini membuat mereka belum adaptif terhadap risiko fluktuasi pertumbuhan dana premi sebagaimana di produk pasar modal.
Animo masyarakat tampak menyukai produk asuransi dengan fitur seperti tabungan atau simpanan (deposito) di bank. Pelaku industri asuransi melihat fenomena ini sebagai peluang yang kemudian direspons dengan menjual produk-produk asuransi dengan benefit hasil bergaransi.
Produk asuransi dengan hasil investasi bergaransi kemudian dianggap sebagai substitusi produk perbankan. Akibatnya terjadi crowding out effect dana dari industri perbankan yang kemudian justru dipermudah dengan adanya kanal pemasaran bancassurance.
Penjualan bancassurance yang masif kemudian mendorong terjadinya shifting bisnis asuransi dari menjual produk proteksi menjadi produk investasi.
Terjadi perebutan pangsa pasar antara investor pasar modal dengan nasabah asuransi karena dianggap lebih memberikan hasil yang pasti ketimbang produk investasi di pasar modal.
Penurunan sebanyak 3 juta jumlah nasabah unit link saat ini juga menjadi sinyal bahwa industri asuransi harus kembali ke bisnis inti sebagai penyedia proteksi, bukan investasi.
Selain itu, sektor ini akan segera dihadapkan pada penerapan IFRS 17 yang akan mulai berlaku pada 2025. Pada saat itu, premi unit link tidak dapat diakui sebagai pendapatan asuransi.
Berbagai kasus gagal bayar tersebut disebabkan lemahnya manajemen risiko dari proses bisnis sejak hulu sampai hilir. Berawal dari pengemasan produk dengan garansi hasil investasi di luar batas kemampuan pengelola aset dalam menghasilkan pengembalian investasi.
Perusahaan asuransi belum optimal melaksanakan pedoman pengelolaan aset dan kewajiban (asset liability management) yang menjadi unsur fundamental dalam perusahaan asuransi.