KOLOM

Kesenjangan Model Baru dan Moratorium Asuransi Unit Link

Irvan Rahardjo & Irvan Rahardjo | CNN Indonesia
Senin, 20 Des 2021 16:35 WIB
Di tengah situasi pandemi, unit link bisa menjadi masalah baru, terutama karena terjadi asimetri akses informasi antara nasabah dan perusahaan asuransi.
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

OJK akan menerbitkan aturan untuk memperketat ketentuan produk unit link. Tujuannya untuk meminimalisasi kerugian konsumen serta potensi pemilihan saham yang sarat spekulasi.

Di sisi lain, rencana peraturan OJK dimaksud belum menjawab sumber masalah yang terletak pada kurangnya transparansi perusahaan pada konsumen, dan fakta banyak konsumen yang belum memahami apa itu unit link.

Belum lagi agen asuransi yang kerap menjelaskan secara tidak jujur risiko dan manfaat unit link secara proporsional, serta soal potensi kerugian akibat fluktuasi pasar keuangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Informasi yang diberikan selalu mengarah keuntungan di masa depan, seakan-akan konsumen pasti mendapat imbal hasil besar.

OJK seharusnya bisa berbuat lebih tegas lagi, sebagaimana janji untuk mereformasi industri asuransi. OJK perlu bersikap tegas pada aktivitas penawaran produk asuransi di bank, tidak dicampuraduk dengan praktik misselling karena konsumen datang ke bank untuk menitipkan uangnya, bukan mengasuransikan yang dibalut dengan investasi (Irvan Rahardjo, "Wewenang OJK Lindungi Konsumen", Kompas 9/7/2021).

Terjadi informasi asimetris antara asuransi yang bisa mengakses profil keuangan nasabah dengan nasabah yang tidak mengenal produk asuransi yang ditawarkan. Ini diperkuat dengan kesenjangan yang sangat lebar antara indeks indeks inklusi keuangan 76,19 persen dengan indeks literasi asuransi 19,40 persen (Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2019)

Ironis, di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi, sejumlah nasabah asuransi unit link dihalangi haknya untuk mendapatkan penebusan polis untuk melanjutkan pendidikan dan hari tua dengan ancaman UU ITE karena menumpahkan keluhan dan pengaduan melalui medsos.

Banyak di antaranya warga berpenghasilan rendah dan tidak berpendidikan. Tidak sedikit yang mendapat tawaran pengembalian uang dengan syarat menandatangani pernyataan bungkam tidak menyampaikan keluhan ke publik. OJK pun melayani pengaduan masyarakat melalui mesin 157 tanpa advokasi apapun yang menjadi tugas perlindungan konsumen OJK.

Kasus-kasus ketika webinar bertema asuransi pun tak jarang menghalangi nasabah untuk berdialog dengan narasumber,. dengan kolom dialog untuk mengajukan pertanyaan dikunci. Setidaknya penulis telah menemukan tiga webinar yang seperti itu, yang digelar oleh akademi asuransi, oleh sebuah media ekonomi, dan yang digelar salah satu kementerian. 

Penghapusan Unitlink di India

Di India, Unitlink sudah dihapuskan sejak 2013. Kala itu investor kehilangan 1,5 triliun rupee (291 triliun rupiah) karena kesalahan penjualan produk asuransi bernama Unilip.

Menteri Keuangan India P. Chidambaram mengungkapkan asuransi tersandung karena kesalahan penjualan produk dan karena produk yang kompleks. Di negara itu, asuransi sendiri harus menjual produk sederhana dan harus benar-benar menjelaskan kepada agen tidak boleh salah menjual.

Tiga juta tenaga penjualan membawa pulang hingga 40 persen dari premi tahun pertama sebagai komisi. Mereka menjual produk asuransi jiwa yang dibangun seperti perangkap bagi pemegang polis oleh perusahaan asuransi yang memperoleh keuntungan karena biaya akuisisi yang sangat tinggi.

Penelitian Mint, sebuah publikasi keuangan India menemukan lebih dari 1,56 triliun rupee telah bocor atau keluar dari industri karena pemegang polis membiarkan polis mereka berjalan selama periode tujuh tahun yang berakhir 2011-12.

Kerugian yang sebenarnya mungkin berlipat ganda dari itu. Total komisi dibayarkan selama periode ini mencapai 1,13 triliun rupee, atau hampir 71 persen dari jumlah yang hilang.

Pada praktik unit link di Indonesia, uang komisi lima tahun pertama yang diambil dari premi yang dibayarkan oleh pemegang polis dan diberikan kepada agen asuransi, mencapai 99 persen. Terdiri atas komisi tahun pertama sebesar 42 persen, tahun kedua 42 persen, tahun ketiga 5 persen, tahun keempat 5 persen, dan tahun kelima 5 persen

Pelaku asuransi menyalahkan nasabah yang merasa dirugikan karena menurunnya nilai polis mereka dengan berdalih nasabah telah menandatangani SPAJ (Surat Permintaan Asuransi Jiwa) dan membiarkan masa tenggang 14 hari (free look period) berlalu tanpa membaca polis.

Tak heran jika mengemuka gagasan untuk menghentikan (moratorium) produk unit link kepada masyarakat yang tidak mempunyai akses finansial dan akses digital agar kesenjangan antar golongan masyarakat akibat pandemi tidak semakin lebar.

Moratorium ini bisa saja berjalan hingga tingkat literasi asuransi masyarakat meningkat dan penjualan yang sesuai dengan profil nasabah.

*Penulis lebih dari 20 tahun berkecimpung di dunia asuransi dan pernah menjadi Komisaris Independen AJB Bumiputera 1912 dan Asuransi SOMPO Indonesia.
(vws)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER