
Inflasi dan PMI Manufaktur Awal Tahun Kirim Sinyal Optimisme Pemulihan

Peningkatan mobilitas dan aktivitas ekonomi masyarakat telah mendorong sisi permintaan. Data-data inflasi dan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur pada awal tahun ini telah mengirimkan sinyal positif tentang pemulihan ekonomi.
Memasuki awal 2022, inflasi di Januari 2022 yang tercatat sebesar 2,18 persen (year on year/yoy) masih terkendali dalam kisaran sasaran target inflasi tahun 2022 sebesar 3 persen ± 1 persen (yoy).
Secara bulanan, inflasi Januari 2022 sebesar 0,56 persen (month to month/mtm) sedikit menurun dibandingkan dengan inflasi Desember 2021. Namun, inflasi Januari 2022 merupakan yang tertinggi pada periode yang sama sejak 2019.
Capaian Inflasi Januari dipengaruhi oleh pergerakan pada seluruh komponen inflasi dengan komponen inti menjadi penyumbang andil tertinggi terhadap inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Januari yakni sebesar 0,27 persen. Inflasi inti sebesar 0,42 persen (mtm) dan merupakan tertinggi sejak Agustus 2019.
Sementara itu secara tahunan, inflasi inti tercatat sebesar 1,84 persen dan juga tertinggi sejak September 2020. Peningkatan inflasi inti pada Januari 2022 terutama disebabkan adanya peningkatan harga komoditas ikan segar, mobil, tarif kontrak rumah dan sewa rumah.
Inflasi volatile food (VF) tercatat sebesar 1,30 persen (mtm), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi VF bulan sebelumnya sebesar 2,32 persen (mtm) maupun rerata historis bulan Januari empat tahun terakhir sebesar 1,66 persen (mtm).
Beberapa komoditas VF yang dominan berkontribusi terhadap inflasi Januari antara lain kenaikan harga daging ayam, beras, telur ayam ras, dan tomat. Sementara itu, komoditas yang mengalami penurunan harga adalah cabai merah.
Kenaikan harga beras pada Januari disebabkan oleh rendahnya panen pada bulan November-Desember 2021 disertai dengan terjadinya hidrometeorologi pada awal 2022.
Harga beras di tingkat penggilingan meningkat sebesar 2,23 persen (mtm) dan ditingkat eceran sebesar 0,94 persen (mtm). Kondisi ini diperkirakan masih berlangsung pada Februari meski tidak setinggi Januari dan kembali stabil mulai Maret karena mulai masuknya musim panen.
Sementara itu, minyak goreng yang menjadi komoditas paling dominan menyumbang inflasi tahun 2021 dengan andil sebesar 0,31 persen, saat ini kondisinya relatif terkendali dengan andil inflasi mencapai 0,01 persen di Januari 2022.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk melakukan stabilisasi harga minyak goreng.
Sebelumnya, ujarnya, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk memastikan agar masyarakat dapat memperoleh harga minyak goreng kemasan dengan harga terjangkau, yakni Rp14.000,00 per liter mulai 19 Januari 2022.
"Kemudian, untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak goreng, Pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi [HET] untuk minyak goreng. Kebijakan HET ini berlaku mulai 1 Februari 2022," ujar Airlangga di Jakarta, Rabu (2/2).
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga minyak goreng menunjukkan tren penurunan pada akhir Januari meskipun secara rata-rata bulanan masih tercatat meningkat dibandingkan dengan Desember 2021.
Peningkatan harga beberapa komoditas pangan juga tercermin pada peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) Januari 2022. NTP nasional Januari 2022 sebesar 108,67 atau naik 0,30 persen dibandingkan dengan NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP menunjukkan bahwa petani bisa menikmati keuntungan dari hasil produksi mereka.
Subsektor yang mengalami peningkatan tertinggi yakni NTP Subsektor Tanaman Pangan sebesar 0,98 persen terutama disebabkan dari peningkatan harga gabah. Harga gabah petani meningkat sebesar 4,96 persen (mtm) yang mendorong peningkatan harga beras ditingkat penggilingan maupun eceran.
Selanjutnya, NTP Subsektor Peternakan naik 0,43 persen dan berada pada level 100,19, didorong utamanya dari peningkatan harga ayam ras pedaging.
NTP Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (NTPR) juga naik menjadi 131,81. NTPR tercatat terus meningkat sejak Juli 2020 yang utamanya masih didorong kenaikan harga kelapa sawit.
Komponen inflasi administered prices (AP) tercatat 0,38 persen (mtm), menurun dibanding bulan Desember 2021 sebesar 0,45 persen (mtm).
Bahan Bakar Rumah Tangga (BBRT) menjadi komoditas dengan andil penyumbang tertinggi sebesar 0,06 persen. Peningkatan tersebut disebabkan penyesuaian harga LPG nonsubsidi sebesar Rp1.600 s.d Rp2.600 per kilogram sejak 25 Desember 2021.
Selain BBRT, rokok kretek filter mencatatkan sumbangan terhadap inflasi Januari sebesar 0,01 persen. Kenaikan disebabkan naiknya tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 192/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau sejak 1 Januari 2022.
Peningkatan inflasi AP masih tertahan oleh penurunan tarif angkutan udara sesuai dengan pola musimannya, dengan andil -0,03 persen.
Sebagai pembuka awal tahun, sinyal optimisme pemulihan ekonomi terus bertambah khususnya terlihat dari sektor manufaktur yang semakin menggeliat. Laporan Purchasing Managers' Index (PMI) yang diterbitkan IHS Markit menunjukkan output sektor manufaktur Indonesia kembali di posisi ekspansif sebesar 53,7 pada Januari 2022, lebih tinggi dari Desember 2021 sebesar 53,5.
Dengan demikian, sektor manufaktur melanjutkan level ekspansi selama lima bulan berturut-turut dan masih mengungguli beberapa negara ASEAN seperti Thailand (51,7), Filipina (50,0), dan Myanmar (48,5).
"Kinerja sektor manufaktur yang terus ekspansif perlu diapresiasi. Pemerintah juga akan terus bekerja keras menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga performa positif ini dapat terus ditingkatkan," lanjut Airlangga.
Prospek dan Risiko
Sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dunia, permintaan yang tinggi telah mendorong naiknya harga-harga komoditas esensial dan berdampak terhadap kenaikan inflasi global.
IMF dalam publikasi terbaru World Economic Forum, yang dirilis pada Januari 2022, juga menyampaikan bahwa kenaikan inflasi merupakan salah satu faktor risiko pemulihan ekonomi pada 2022.
"Dalam rangka menjaga tren pemulihan ekonomi nasional, Pemerintah akan terus mencermati berbagai risiko pencapaian inflasi tahun 2022, termasuk yang berasal dari imported inflation," ungkap Airlangga.
Berlanjutnya harga energi yang tinggi, disertai gangguan rantai pasok, telah mendorong peningkatan inflasi, terutama di Amerika Serikat dan banyak negara Emerging Market and Developing Economies (EMDE). AS menutup 2021 dengan tingkat inflasi menembus 7 persen dan merupakan tertinggi sejak Juni 1982.
Pemerintah, lanjut Airlangga, akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia maupun Pemerintah Daerah untuk memitigasi berbagai tantangan pencapaian inflasi 2022, baik yang berasal dari global maupun domestik.
"Penguatan program kerja dan strategi kebijakan pengendalian inflasi di level daerah menjadi strategis dalam mendukung pencapaian inflasi nasional tetap terkendali di tengah risiko-risiko yang dihadapi," tuturnya.
Dari sisi sektor riil, peningkatan demand global juga harus menjadi peluang yang bisa ditangkap. Dengan output manufaktur Indonesia yang diperkirakan semakin bertumbuh, diharapkan prospek permintaan barang ekspor juga akan terus meningkat.
"Untuk mengakselerasi kinerja ekspor dan memanfaatkan momentum yang ada, Pemerintah akan terus mendorong program hilirisasi komoditas unggulan, seperti CPO, nikel, bauksit, tembaga, hingga timah. Di samping itu, investasi pada industri 4.0 juga terus ditingkatkan sehingga produk-produk ekspor Indonesia akan semakin berdaya saing dan bernilai tambah tinggi."
(aor/aor)[Gambas:Video CNN]