Jakarta, CNN Indonesia --
Aturan baru pencairan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) untuk pekerja mengundurkan diri maupun kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mendapat penolakan keras dari serikat buruh, anggota DPR, hingga masyarakat. Per Selasa (15/2) pagi, petisi penolakan yang diunggah pada laman change.org telah diteken 378,6 ribu orang.
Bahkan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut peraturan terkait, yaitu Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Pasalnya, KSPI menilai PHK di saat pandemi masih terjadi dan pekerja membutuhkan bantalan untuk bertahan lewat pencairan manfaat JHT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"JHT sangat dibutuhkan buruh saat ini, di saat PHK merajalela dan kondisi ekonomi belum terlalu baik," Presiden KSPI Said Iqbal lewat rilis, Senin (14/2).
Beda buruh, beda pula suara pengusaha. Ketua Umum Dewan Pengurus Daerah (DPD) Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) malah menilai aturan sangat bagus karena memberikan jaminan dan kepastian di hari tua.
Ia mengaku mendukung aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah tersebut. Alasannya, menurut Sarman, beleid sesuai dengan filosofi jaminan hari tua yang seyogyanya dapat dinikmati ketika peserta tak lagi berusia produktif.
"Perubahan ketentuan pencairan JHT ini sangat jelas untuk memastikan atau menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya saat memasuki pensiun, tidak untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek di saat usia produktif," jelas dia.
Toh, pekerja yang di-PHK pun mendapat mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di mana peserta mendapatkan manfaat dalam bentuk uang tunai selama 6 bulan. Untuk tiga bulan pertama diberikan sebesar 45 persen dari upah maksimal Rp5 juta dan 3 bulan berikutnya sebesar 25 persen dari upah maksimal Rp5 juta.
Di sisi lain, peserta juga akan mendapatkan akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja. "Jadi ketika pekerja terkena PHK jangan langsung yang dipikirkan pencairan JHT, anggap itu tabungan jangka panjang yang akan dinikmati kelak untuk kehidupan yang lebih sejahtera bersama keluarga," jelasnya.
Menjawab keresahan pekerja, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan Permenaker Nomor 2/2022 mengembalikan filosofi jaminan sosial pekerja di hari tua, di mana klaim penuh hanya bisa dilakukan setelah menginjak usia tidak produktif atau 56 tahun.
Namun, aturan dikecualikan untuk pekerja mengalami cacat total atau meninggal. Dalam kondisi tersebut, pekerja atau pewarisnya bisa mencairkan JHT secara penuh.
Sementara, untuk pekerja kena PHK, Ida menyebut JKP disiapkan menjadi jawaban karena memberikan 3 manfaat, yaitu tunjangan tunai selama 6 bulan, pelatihan, dan informasi lowongan kerja. Solusi jangka pandeknya ialah uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
"Saya sangat berharap Permenaker dipahami secara cermat dan menyeluruh. Saya ingin menegaskan pandangan JHT hanya bisa diambil 56 tahun. Itu tidak sepenuhnya benar," ujarnya, Senin (14/2).
Kendati mendukung digantinya sebagian manfaat JHT ke JKP, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyayangkan lambat dan minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah.
Tak heran kalau aturan menjadi polemik karena minim penjelasan dan pekerja tak paham apa manfaat program terkait. Ia menilai harusnya peluncuran Program JKP didahulukan dari rilis Permenaker Nomor 2/2022, bukan terbalik seperti yang terjadi.
Ia melihat terlambatnya peluncuran program JKP membuat pekerja hanya melihat pelarangan pencairan manfaat penuh sebelum usia 56 tahun. Tak hanya masyarakat saja yang tak paham, ia menyebut anggota DPR pun tak tahu program pemerintah hingga terlontar penolakan massif.
"Awalnya yang harusnya di-launching itu JKP dulu, diketahui publik baru keluar Permenaker Nomor 2, pertanyaan umum kan bantalannya JKP, tapi JKP itu apaan?" katanya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (15/2).
Bersambung ke halaman berikutnya...
Lantas, apakah JKP tepat menggantikan manfaat JHT untuk mereka yang di-PHK?
Menurut Timboel, manfaat untuk pekerja kena PHK yang ditawarkan JKP sebetulnya lebih besar dari pada pencairan JHT. Misalnya, untuk pekerja bergaji Rp4 juta dengan masa kerja 2 tahun, maka tunjangan yang didapat selama 3 bulan pertama adalah Rp5,4 juta. Angka didapat dari manfaat 45 persen dari total gaji.
Sedangkan untuk 3 bulan selanjutnya yang bersangkutan mendapat gaji Rp1 juta per bulan atau 25 persen dari gaji, sehingga secara total pekerja ter-PHK di era JKP mendapat santunan Rp8,4 juta selama 6 bulan.
Sementara untuk pencairan JHT mekanisme lama, penerima manfaat mendapat 5,7 persen dari Rp4 juta atau Rp228 ribu per bulan. Jika dikalikan dengan masa kerja 24 bulan, maka yang bersangkutan mendapat Rp5,4 juta sekaligus.
Perhitungan belum ditambah dengan imbal hasil pengembangan. Jika rata-rata keuntungan yang didapat berkisar antara 5 persen-10 persen, maka bunga yang didapat sekitar Rp547 ribu.
"Jadi kalau ditotal sekitar Rp6,19 juta, tetap kalah jauh dengan Rp8,4 juta dengan masa kerja 2 tahun, dengan upah sama-sama Rp4 juta. Walau pun yang Rp6,9 juta lump sum, yang JKP setiap bulan," jelas dia.
Selain mendapat tunjangan lebih tinggi, di era JKP peserta juga mendapat manfaat tambahan berupa pelatihan dan informasi kerja.
Di sisi lain, tabungan JHT peserta tidak terkuras, sehingga manfaat masih bisa dinikmati di saat memasuki usia tak produktif.
Sumber Iuran JKP
Timboel menjelaskan iuran diambil dari 3 sumber pendanaan, yaitu setoran awal dari pemerintah senilai Rp6 triliun, iuran yang dibayarkan pemerintah sebesar 0,22 persen dari upah, dan rekomposisi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14 persen tambah rekomposisi Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,1 persen. Sehingga, iuran JKP ditetapkan sebesar 0,46 persen dari upah pekerja.
Artinya, jika pekerja mengklaim manfaat JKP, maka setoran iuran untuk manfaat JKK dan JKM dipotong setara dengan rekomposisi.
Dari hitungan Timboel, setiap satu orang di-PHK ditopang oleh iuran 98 pembayar aktif lainnya. Dengan demikian, jika peserta aktif JKM sebesar 11 juta orang, maka iuran pekerja dapat menutupi manfaat untuk 112,24 ribu pekerja kena PHK.
Menurut dia, angka PHK untuk pekerja terdaftar per bulan tak sebesar itu. Tapi, jika jumlah PHK melebihi perkiraan, maka manfaat akan dibayarkan lewat modal yang disetorkan pemerintah.
"Paling tidak dengan 0,22 persen iuran pemerintah tambah 0,24 persen rekomposisi, ditambah Rp6 triliun itu sudah cukup karena duitnya ditumpuk dulu setahun," ujarnya.
Di sisi lain, Timboel melihat masih ada permasalahan JKP, salah satunya adalah syarat untuk mendapat manfaat adalah peserta harus terdaftar di seluruh program jaminan sosial pekerja, mulai dari JHT, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JK), dan Jaminan Kesehatan.
Karena itu, ia menyebut tak semua peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa mengakses manfaat JKP. Dari data dia total peserta yang tercatat sebanyak 16,2 juta orang, namun yang berhak mendapat manfaat JKP hanya 10,9 juta orang.
Selain itu, untuk mendapat manfaat JKP peserta juga harus menyetor iuran setiap bulannya, baik itu iuran dari pekerja atau pemberi kerja. Jika perusahaan lalai dan menunggak bayar, pekerja terancam tak mendapat manfaat JKP.
"Karena itu saya mengajak pekerja untuk aware mulai sekarang cari tahu apakah sudah menjadi peserta JKP apa belum?" ujarnya.
Selain itu, ia juga mengkritisi program yang tak mencakup pekerja migran atau TKI dan pekerja kontrak (PKWT).
"Padahal kalau membaca UU SJSN Pasal 15-16 mengatakan setiap peserta berhak mendapat manfaat dan informasi yang diikutinya, ketika pekerja PKWTdidaftarin, dibayar iuran, kan dia peserta juga," kata dia.
Manfaat Tak Jelas
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi menilai terjadi salah kaprah bahwa JKP bakal menggantikan JHT. Menurut dia, kedua program bertujuan dan memberikan manfaat berbeda.
Ia menilai sah-sah saja jika pemerintah hanya mengizinkan klaim sebagian manfaat JHT untuk mereka yang sudah membayar iuran 10 tahun, tapi masalahnya bagaimana dengan mereka yang berhenti bekerja sebelum genap menyetor dana 10 selama 10 tahun?
"Permenaker Nomor 2/2022 itu kan yang dijelaskan hanya dana bisa dicairkan kalau sudah berusia 56 tahun dan kalau sebelum itu 30 persen untuk rumah atau 10 persen untuk lainnya, itu saja. Tapi kan engga ada bagaimana proses teknis kalau 5 tahun kena PHK sebelum genap 10 tahun," kata dia.
Tadjuddin menyebut berbagai skenario pekerja yang terjadi di lapangan tak tertuang dalam aturan teknis turunan uu. Jika dana yang disetorkan pekerja tak jelas keberadaannya dan hanya bisa diambil setelah mencapai usia 56 tahun, bukannya menjamin secara sosial, program malah tak bermanfaat bagi pekerja.
"Ini kan cukup serius, Anda membayar sampai 10 tahun nah berapa yang harus Anda terima? Kan tidak jelas," katanya.
[Gambas:Video CNN]