Agresi militer Rusia terhadap Ukraina tidak hanya berdampak pada perekonomian kedua negara dan benua biru Eropa, tapi juga ke Asia. Analis memperingatkan melonjaknya harga komoditas, gangguan rantai pasokan, dan inflasi kemungkinan akan membebani konsumen di kawasan Asia.
Perang di Ukraina dan sanksi ekonomi dari berbagai negara terhadap Rusia diprediksi mendorong harga energi di Asia lebih tinggi lagi.
Sebab, Rusia merupakan pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia dan produsen minyak bumi terbesar ketiga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom senior untuk Asia di Natixis Hong Kong Trinh Nguyen mengatakan hal ini bisa menjadi ancaman serius.
"Harga minyak yang tinggi merupakan hal yang negatif untuk Asia karena kami adalah importir minyak. Dengan demikian tekanan inflasi dan biaya yang lebih tinggi akan mengurangi daya beli konsumen," ujarnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (25/2).
Nguyen mengatakan negara Asia yang paling terdampak adalah India. Terlebih, rupee India telah menunjukkan tanda-tanda kejatuhannya terhadap dolar AS pada Kamis kemarin.
Asia Tenggara
Perekonomian Asia Tenggara juga bersiap menghadapi dampak kenaikan harga minyak mentah dan gas alam cair.
Peneliti di Human Rights Watch Jakarta Andreas Harsono mengungkapkan keprihatinan terkait efek kenaikan harga energi pada barang-barang kebutuhan sehari-hari.
"Jika invasi Ukraina dan sanksi terhadap Rusia di luar kendali, mereka dapat mendorong tekanan pada rupiah Indonesia, mengganggu perdagangan dan pasokan di pasar," terang dia.
Menurutnya, jika hal tersebut merembet pada kelangkaan sembako, maka akan terjadi kekacauan di pasar.
Sementara itu, di China, Konsultan Trivium China Ether Yin mengatakan negara itu bisa segera merasakan tekanan inflasi.
"Pembuat kebijakan China telah terjebak dalam perjuangan berat untuk mengendalikan harga komoditas utama guna meredakan inflasi industri," kata Yin.
"Baik Rusia dan Ukraina adalah pemasok utama beberapa komoditas utama ke China. Krisis hanya membuat pekerjaan jauh lebih sulit," sambungnya.
Sementara itu, Ekonom BBVA Xia Le mengatakan China tidak mungkin menerima pukulan ekonomi yang signifikan. "Dalam jangka pendek dan panjang, dampaknya kemungkinan kecil karena China adalah negara ekspor yang sangat besar," kata Xia.
Memang, ia menyebut China mengimpor produk energi dari Rusia dan beberapa produk pertanian dari Ukraina. Tetapi, secara keseluruhan itu seharusnya tidak menjadi masalah besar bagi Negeri Tirai Bambu.
"Seharusnya tidak sulit bagi China untuk menemukan sumber energi alternatif, bahkan jika eskalasi konflik menyebabkan gangguan pasokan," imbuhnya.
Menurut Xia dampak krisis akan berkurang karena China dan Rusia memiliki ikatan yang kuat. China tidak mungkin untuk bergabung dengan AS dan sekutunya dalam mengeluarkan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Faktanya, China dapat membantu melunakkan pukulan terhadap Rusia. Administrasi Umum Bea Cukai China mengkonfirmasi mereka akan mencabut semua pembatasan impor gandum di Rusia. Keputusan itu merupakan bagian dari sejumlah kesepakatan yang dicapai selama perjalanan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Beijing awal bulan ini.
Jepang dan Korea Selatan
Jepang dan Korea Selatan juga mengantisipasi inflasi yang lebih tinggi. Meski demikian efek ekonomi dari keriuhan di Ukraina itu hanya terbatas dalam jangka pendek.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengumumkan Tokyo akan memperkuat sanksi terhadap Rusia sebagai tanggapan atas pengerahan pasukan Rusia di Ukraina.
Sementara itu, Korea Selatan sudah menyatakan akan bekerja sama dengan komunitas internasional mengenai sanksi terhadap Rusia, tetapi menolak untuk membuat tindakan hukumannya sendiri.
Ekonom dari Capital Economics Tom Learmouth menerangkan kisruh antara Rusia-Ukraina tidak akan mempengaruhi ekonomi Jepang secara keseluruhan karena hanya dua persen impor Jepang yang berasal dari Rusia.
Namun, ia juga mengatakan lonjakan harga energi yang disebabkan oleh gangguan signifikan pada ekspor Rusia akan meningkatkan inflasi Jepang menjadi 2 persen dari April hingga akhir tahun ini.