Ekonom Ramal Nikel RI Bisa Dapat Berkah dari Sanksi Ekonomi ke Rusia

CNN Indonesia
Senin, 14 Mar 2022 13:53 WIB
Pengamat berpendapat produsen nikel RI berpeluang menambah pangsa pasar di Eropa dan AS setelah negara-negara tersebut menjatuhkan sanksi ekonomi untuk Rusia.
Pengamat berpendapat produsen nikel RI berpeluang menambah pangsa pasar di Eropa dan AS setelah negara-negara tersebut menjatuhkan sanksi ekonomi untuk Rusia. (Antara/Jojon).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengamat menilai sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan negara-negara barat kepada Rusia akan menghambat ekspor nikel dari negara beruang merah tersebut. Hal itu akan menjadi peluang bagi produsen nikel RI untuk masuk ke AS dan Eropa.

Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan AS akan mencari sumber impor nikel untuk menggantikan Rusia. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar tentu dapat memanfaatkan momentum ini.

"Sanksi ekonomi memberikan peluang bagi produsen nikel asal Indonesia dalam menembus pasar yang ditinggalkan oleh Rusia. Impor nikel Rusia ke AS tercatat US$118 juta per tahun, sehingga perusahaan elektronik dan otomotif AS akan mencari sumber nikel lain," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Bhima, sanksi ekonomi yang diberikan AS dan negara-negara barat akan membuat Rusia sulit mengekspor nikel. Pasalnya, sebagian negara sudah memblokir Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT dan sejumlah perusahaan tambang sudah angkat kaki dari Rusia.

"Biaya investasi untuk penambangan nikel di Rusia juga berkurang drastis, setelah perusahaan-perusahaan asal Eropa menarik diri. Kapal logistik yang mengangkut nikel dari Rusia pun berkurang signifikan karena naiknya biaya asuransi terutama pelayaran yang melewati zona perang," ujar Bhima.

Sebenarnya, lanjut Bhima, Rusia bisa saja mencoba ekspor lewat China. Namun, rute tersebut mengharuskan Rusia mengekspor nikel ke China terlebih dahulu sebelum mengirim ke negara lain.

Oleh karena itu, peluang RI untuk menambah pangsa pasar di AS dan Eropa sangat besar. Meski begitu, Bhima melihat masih ada beberapa tantangan bagi RI menjual nikel ke AS dan Eropa.

Pertama, beberapa produsen nikel di Indonesia dianggap tidak memenuhi standar Environment, Social, dan Governance (ESG). Hal ini berbeda dengan Australia yang sebagian besar tambang nikelnya sudah memenuhi standar ESG.

"Sehingga Australia berpeluang menjadi kompetitor terberat Indonesia," ujar Bhima.

Kedua, ia menilai biaya logistik pengiriman di Indonesia masih relatif tinggi, yakni 23,5 persen dari PDB. Hal ini akan mempengaruhi daya saing dengan negara lain.

Ketiga, tidak semua kualitas nikel yang dihasilkan Indonesia bisa menggantikan kualitas nikel asal Rusia. Meskipun, dapat dikatakan cadangan biji nikel Indonesia mencapai 3,74 miliar wet metric ton (WMT), tapi masih perlu ada peningkatan kualitas nikel.

"Di satu sisi ada kenaikan harga nikel 202 persen setahun terakhir imbas konflik Rusia-Ukraina. Tetapi harus diwaspadai kekurangan pasokan dalam negeri untuk nikel berkualitas tinggi," kata Bhima.

Keempat, Indonesia masih dalam proses mengkaji DMO nikel untuk keperluan industri baterai yang sedang dikembangkan di dalam negeri. Dengan demikian, Bhima menilai produsen nikel Indonesia belum sepenuhnya siap jika mulai mengekspor nikel besar-besaran.

"Alhasil, produsen nikel (dalam negeri) mungkin lebih fokus penuhi permintaan buyer tetap China dan pasar di Indonesia sendiri," jelas Bhima.

Sebagai informasi, Rusia mendapatkan banyak sanksi ekonomi dari Eropa dan AS. Salah satu sanksi dari Uni Eropa adalah tujuh bank Rusia didepak dari jaringan sistem pembayaran terbesar di dunia SWIFT.

Tujuh bank tersebut adalah VTB Bank, Bank Otkritie, Novikombank, Promsvyazbank, Rossiya Bank, Sovcombank, dan Vnesheconombank (VEB).

Sementara, AS memangkas lebih dari setengah impor teknologi dari Rusia serta melarang 12 perusahaan besar asal Rusia mengambil utang lewat pasar keuangan barat.

[Gambas:Video CNN]

(tdh/aud)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER