Yusuf melanjutkan BLT juga bukan tanpa masalah. Misalnya, salah sasaran dan diterima oleh masyarakat yang mampu. Nah, untuk memimalisir hal tersebut, Yusuf menyarankan pemerintah untuk memperbarui data penerima bantuan agar memperkecil kesalahan bantuan salah sasaran.
"BLT minyak goreng ini kan sangat bergantung pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Nah, data ini kan isinya tergantung dari pemerintah daerah, jadi yang harus dilakukan adalah koordinasi dengan pemda untuk perbarui data tersebut. Jadi mereka yang dapat itu yang berhak, dengan ini semoga error-nya bisa lebih kecil," jelasnya.
Sementara Bhima meminta pemerintah memperhatikan akurasi data penyaluran BLT minyak goreng, khususnya pedagang gorengan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk PKH mungkin tidak ada masalah, karena datanya sudah semakin baik disinkronkan dengan DTKS. Tetapi, untuk pedagang gorengan pendataan ini penting karena dikhawatirkan ada duplikasi data penerima, sehingga tidak tepat sasaran," ucapnya.
Ambil contoh, peluang pedagang gorengan menerima bantuan tunai minyak goreng dua kali, yakni sebagai pedagang dan sebagai penerima PKH. Karenanya, ia meminta pemerintah untuk memperhatikan data penerima bantuan tersebut agar tidak saling tumpang tindih.
Pendataan pedagang gorengan dinilai akan jadi kendala baru. Apalagi, sebagian besar pedagang tidak memiliki izin usaha yang terdaftar. Selain itu, harga gorengan antara satu pelaku dengan pelaku lainnya cenderung berbeda-beda.
"Jadi sinkronisasi dan akurasi data yang dimiliki Pemda, Kementerian Koperasi UMKM dan data di tingkat asosiasi harus berjalan. Pemerintah juga bisa membuka posko aduan di setiap kabupaten kota untuk mendata pedagang yang berhak mendapat BLT," sarannya.