Faisal Basri Kecewa Pertamina Tak Beli Minyak Saat Murah

CNN Indonesia
Kamis, 07 Apr 2022 17:06 WIB
Ekonom senior Faisal Basri menilai Pertamina seharusnya membeli minyak mentah saat murah agar harga Pertamax tak naik.
Ekonom senior Faisal Basri menilai Pertamina seharusnya membeli minyak mentah saat murah agar harga Pertamax tak naik. (CNNIndonesia/ Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom senior Faisal Basri menyesali langkah PT Pertamina (Persero) yang tidak membeli minyak mentah mentah dalam jumlah banyak ketika harga komoditas itu sedang rendah pada awal pandemi covid-19 sekitar dua tahun lalu. Saat itu, harga minyak cuma sekitar US$20 per barel.

Faisal mengatakan harga minyak mentah dunia sudah melambung lebih dari US$100 per barel saat ini. Namun, Pertamina tetap harus membeli minyak guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

"Harusnya Pertamina bangun storage banyak untuk membeli waktu harga minyak US$20 per barel kemarin di 2020-2021, sehingga dia tidak serta merta mengagetkan rakyat dengan kenaikan harga," kata Faisal di acara diskusi online bertajuk 'Harga Kian Mahal: Recovery Terganggu?', Kamis (7/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayang, langkah itu tidak dilakukan, sehingga mau tidak mau Pertamina harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. Harganya yang semula berkisar Rp9.000 per liter naik menjadi paling mahal Rp13 ribu per liter.

Kendati sudah terlanjur naik, Faisal menilai pemerintah seharusnya bisa memberikan kompensasi untuk meringankan beban masyarakat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh negara lain, salah satunya Malaysia.

"Di Malaysia, meredam kenaikan harga BBM dengan menerapkan on off PPN. Jadi kalau harga BBM turun karena harga minyak turun, dikenakan pajak penjualan atau PPN. Tapi kalau harga tinggi, PPN-nya dihapus," ujar Faisal.

Menurut Faisal, pemerintah belum memberikan kompensasi atas kenaikan BBM kepada rakyat. Bahkan, negara justru menambah beban rakyat dengan mengerek tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen.

"Di situasi sekarang, pemerintah bukannya countercyclical, malah procyclical. Sudah naik harga, tambah naiknya, biar rasa itu rakyat tambah sengsara, begitu kira-kira. Dengan kenaikan PPN 11 persen, boro-boro dihapus untuk sementara waktu," tutur Faisal.

Dana Kompensasi Tak Transparan

Di sisi lain, Faisal mengkritik kebijakan tak transparan dari pemerintah yang memberikan kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) karena harga BBM dan listrik tak naik tahun lalu.

"Bukan subsidi, tapi dana kompensasi dan tidak ada di APBN," tutur Faisal.

Namun, ia tidak menyebut pasti berapa nilai dana kompensasi tersebut. Hal yang pasti, dana itu untuk mengompensasi subsidi harga BBM.

Menurut catatannya, subsidi untuk BBM jenis Pertalite sebesar Rp4.000-4.500 per liter. Sementara, untuk Solar sebesar Rp7.800 per liter dan Pertamax Rp3.500 per liter.

"Walaupun Pertamax sudah dinaikkan, tapi masih ada subsidinya Rp3.500 per liter, itu yang ditalangi Pertamina dulu. Nanti hitung-hitung diselesaikan setelah audit BPK," jelas Faisal.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah memiliki utang sebesar Rp109 triliun kepada Pertamina dan PLN. Utang ini merupakan biaya kompensasi yang belum dibayarkan pemerintah hingga akhir 2021.

"Total pemerintah memiliki kewajiban Rp109 triliun (kepada Pertamina dan PLN)," ungkap Sri Mulyani.

Ia mengatakan biaya kompensasi untuk Pertamina dan PLN membengkak karena tak ada penyesuaian harga listrik dan BBM selama 2021. Sementara, harga komoditas terus meningkat.

"Karena belum ada perubahan harga BBM dan tarif listrik, pemerintah bayar kompensasi ke PLN dan Pertamina," ujar Sri Mulyani.

Ia merinci sisa kewajiban pemerintah kepada Pertamina sebesar Rp45,9 triliun pada 2020. Namun, pemerintah baru membayar sebesar Rp30 triliun pada 2021, sehingga masih ada sisa sebesar Rp15,9 triliun.

Kemudian, total utang pemerintah kepada PLN sebesar Rp17,9 triliun pada 2020. Pemerintah sudah melunasi seluruh utang tersebut pada 2021.

"Dalam audit BPKP kami terima bahwa kompensasi melonjak yaitu biaya BBM akan melonjak menjadi Rp68,5 triliun dan listrik Rp24,6 triliun," papar Sri Mulyani.

Jika hasil audit BPKP dan sisa utang pemerintah ditambah, maka totalnya menjadi Rp109 triliun.

[Gambas:Video CNN]

(uli/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER