Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil meringkus sejumlah tersangka atas kasus pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Keempat tersangka tersebut diumumkan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada kemarin, Selasa (19/4).
Salah satu di antara tersangka tersebut adalah 'orang dalam' Kementerian Perdagangan (Kemendag) yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) berinisial IWW.
Selain itu, Kejagung juga berhasil menangkap tiga tersangka lainnya yang merupakan petinggi tiga perusahaan minyak goreng ternama Tanah Air. Menanggapi kasus tersebut, ekonom pun angkat bicara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai 'wajar' apabila penangkapan mafia minyak goreng terbilang lama. Pasalnya, salah satu tersangka merupakan 'orang dalam' dari pembuat kebijakan minyak goreng.
"Wajar apabila proses pengungkapan mafia minyak goreng butuh waktu yang lama atau hampir satu bulan. Kasus suap ini (menjadi) bukti kejahatan terstruktur dan terorganisir untuk melindungi korporasi minyak goreng yang selama ini menikmati margin keuntungan yang sangat besar di tengah naiknya harga CPO internasional," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/4).
Akibat kejadian ini, lanjutnya, jutaan konsumen dan pelaku usaha kecil harus membayar kelangkaan pasokan minyak goreng kemasan dengan harga yang sangat mahal.
Menurutnya, akar permasalahan ini timbul karena disparitas harga minyak goreng yang tinggi di masyarakat. Dengan begitu, kesempatan ini digunakan untuk meraup keuntungan dengan cara yang haram.
"Artinya, yang salah bukan kebijakan DMO untuk penuhi pasokan dalam negeri tapi masalahnya di pengawasan. Pasokan minyak goreng kemasan memang seharusnya aman ketika HET dan DMO diterapkan. Buktinya stok minyak goreng hasil DMO per 14 Februari-8 Maret 2022 telah mencapai 573.890 ton, melebihi kebutuhan bulanan," ucapnya.
Di sisi lain, Bhima justru khawatir kebijakan subsidi minyak goreng curah akan membuat masalah baru yakni suap minyak goreng kemasan ke curah. Pasalnya, rantai distribusi minyak goreng curah dikenal sangat panjang.
Terlebih, harga minyak goreng kemasan saat ini dibanderol sekitar Rp25 ribu per liter, berbeda jauh dengan minyak goreng curah yang hanya Rp14 ribu per liter.
"Kalau bisa jual minyak goreng kemasan yang harga per liternya Rp25 ribu buat apa jual minyak curah? Alhasil kebijakan subsidi minyak goreng curah bisa berakibat kelangkaan, antrian panjang hingga suap menyuap baru," ujarnya.
Lihat Juga : |
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto menyikapi penangkapan mafia minyak goreng dengan kata 'memprihatinkan'. Ia justru khawatir kejadian ini merupakan fenomena gunung es yang baru terlihat di puncaknya saja, sementara di bawahnya masih banyak lagi dan belum terungkap.
"Saya khawatir, ini adalah fenomena gunung es. Banyak pejabat lain yang menyalahgunakan kewenangan seperti ini, tapi tak muncul ke permukaan," kata Akhmad.
Ia pun berharap aparat penegak hukum dapat bertindak tegas, objektif, dan transparan dalam mengusut kasus ini hingga tuntas. Terlebih, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat pihak-pihak lain yang terlibat dan perlu untuk diberantas.