Dampak Invasi Ukraina Terhadap Ekonomi Rusia

CNN Indonesia
Minggu, 01 Mei 2022 16:30 WIB
Perang antara Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari 2 bulan. Perang itu telah berimbas kemana-mana, termasuk ke Rusia. Berikut dampaknya. (REUTERS/THOMAS PETER).
Jakarta, CNN Indonesia --

Perang antara Rusia-Ukraina sudah berlangsung lebih dari 2 bulan. Perang itu telah berimbas kemana-mana. 

Termasuk bagi Rusia sendiri. Maklum, sejumlah negara menjatuhkan sanksi ke Rusia atas langkah yang mereka lakukan terhadap Ukraina tersebut.

Sanksi berbentuk blokade ekonomi hingga larangan impor atas sejumlah produk asal Rusia. Sanksi-sanksi itu telah menimbulkan dampak besar bagi ekonomi Rusia.

Berikut beberapa dampak perang Ukraina terhadap ekonomi Rusia

1. Gagal Bayar Hutang

S&P Global Ratings, lembaga pemeringkat dunia, memangkas peringkat utang valuta asing (valas) Rusia menjadi selective default (gagal bayar selektif). Hal ini terjadi karena negara beruang merah itu membayar obligasi berdenominasi dolar AS memakai mata uang rubel.

S&P menilai peningkatan potensi Rusia tak membayar utang obligasi kepada investor.

Maka dari itu, Rusia berpotensi menghadapi default eksternal (gagal bayar obligasi eksternal) pertama dalam lebih dari satu abad setelah membuat aturan untuk melakukan pembayaran obligasi internasional dengan mata uang rubel.

Selain S&P, Pemimpin VTB Bank Andrey Kostin, salah satu bank terbesar di Rusia juga memproyeksi negara beruang merah akan mengalami gagal bayar utang (default).

Kostin mengatakan potensi gagal bayar Rusia sudah di depan mata karena mendapat banyak sanksi dari negara barat.

Rusia memiliki utang luar negeri US$40 miliar atau setara Rp577 triliun (kurs Rp14.434 per dolar AS) dalam denominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan euro Eropa. Namun, setengah dari total utang tersebut dimiliki oleh investor asing, sehingga perlu dibayar melalui dolar ataupun euro.

Namun kenyataannya, Pemerintah Rusia masih berupaya membayar utang luar negeri hingga yang baru jatuh tempo awal Mei 2022 ini. Sebab, Kementerian Keuangan Rusia mengklaim telah membayar US$565 juta atau Rp8,13 triliun (kurs Rp14.400) eurobond, serta US$84 juta atau Rp1,2 triliun eurobond yang akan jatuh tempo pada 2024.

Secara total, Rusia sudah melunasi sebagian kecil dari utang, senilai Rp9,33 triliun.

2. Terancam Jatuh ke Jurang Resesi

Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) memprediksi Rusia akan jatuh ke jurang resesi akibat sanksi blok Barat, imbas invasi ke Ukraina sejak bulan lalu.

Salah seorang pejabat departemen keuangan AS menyebut Rusia merupakan salah satu negara yang tidak siap menjadi negara dengan ekonomi tertutup, sementara akses ekonominya kian terbatas akibat sanksi.

"Konsekuensi ekonomi yang dihadapi Rusia mengerikan: inflasi tinggi yang hanya akan semakin tinggi dan resesi yang dalam yang hanya akan semakin dalam," kata pejabat itu.

Sebelumnya, negara Barat membekukan sekitar setengah dari cadangan devisa Rusia, melarang bank-bank Rusia tertentu dari jaringan perbankan SWIFT, dan memblokir ekspor teknologi utama ke Rusia.

Selain itu, AS juga melarang impor minyak, gas alam, dan produk minyak Rusia dengan tujuan melemahkan ekonomi Rusia yang pada akhirnya melemahkan militer Rusia.

"Rusia telah terpojok untuk menjadi ekonomi tertutup dan Rusia sebenarnya adalah salah satu negara yang paling tidak siap menjadi ekonomi tertutup," kata pejabat senior yang tak disebutkan namanya itu.

3. PHK Massal dari Perusahaan-Perusahaan Asing Yang Angkat Kaki

Wali Kota Moskow Sergei Sobyanin memprediksi 200 ribu karyawan perusahaan asing di Moskow kehilangan pekerjaan karena sanksi ekonomi yang dijatuhkan sejumlah negara setelah menginvasi Ukraina bulan lalu.

"Menurut perkiraan kami sekitar 200 ribu orang berisiko kehilangan pekerjaan," ucap Sobyanin.

Sebelumnya, ratusan perusahaan internasional dari berbagai sektor telah menyetop operasional di Rusia atau angkat kaki secara keseluruhan. Hal ini merupakan sanksi ekonomi yang diberikan sejumlah negara kepada Rusia karena telah menyerang Ukraina.

Tengok saja sektor otomotif, ribuan pekerja sektor tersebut di Rusia telah dirumahkan dalam beberapa waktu terakhir. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi karena Rusia mendapat sanksi ekonomi dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara barat.

Salah satunya Pavel Terpugov, seorang tukang las di pabrik PSMA Rus, perusahaan otomotif patungan antara Stellantis dan Mitsubishi. Ia menyatakan PHK dilakukan tanpa informasi yang jelas.

"Tidak jelas apa yang akan terjadi. Mereka (pabrik) tidak memberi kami informasi konkret apa pun," ucap Terpugov.

Ia mengatakan perusahaan tempatnya bekerja akan menghentikan produksi karena kekurangan suku cadang. Kondisi serupa juga terjadi pada Volkswagen asal Jerman dan Volvo asal Swedia yang juga kekurangan komponen produksi.

Padahal, jumlah pekerja mereka tidak sedikit. Volkswagen misalnya punya 4.200 pekerja, sedangkan Volvo Group 600 pekerja.

4. Pertumbuhan Ekonomi Rusia Minus Dua Digit

Kementerian Ekonomi dan Keuangan Rusia merevisi pertumbuhan ekonomi turun lebih dari 10 persen pada 2022. Hal ini dilakukan setelah banyak negara, mulai dari Eropa hingga Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi ekonomi usai menginvasi Ukraina.

Ekonomi Rusia diperkirakan minus hingga dua digit tahun ini. Sebab, sanksi ekonomi yang diberikan oleh Eropa dan AS belum pernah terjadi sebelumnya.

Dengan demikian, sektor keuangan dan ekonomi Rusia terganggu.

Demi menyelamatkan negara dari kondisi ekonomi yang semakin parah dan inflasi yang meningkat, bank sentral Rusia baru saja menurunkan suku bunganya dari 17 persen menjadi 14 persen. Badan keuangan tersebut mengatakan akan menurunkannya lebih lanjut dalam waktu dekat.

Suku bunga Rusia sempat melonjak ke level 20 persen dari 9,5 persen, beberapa hari setelah Rusia mengirim puluhan prajurit ke Ukraina pada 24 Februari.

5. Rubel Jatuh ke Level Terendah

Rubel Rusia sempat jatuh ke rekor terendah terhadap dolar, empat hari sejak invasinya terhadap Ukraina. Diperkirakan hal ini terjadi akibat sanksi-sanksi ekonomi yang diterapkan negara-negara Barat.

Salah satu sanksi paling keras adalah memblokir Rusia dari SWIFT, jaringan sistem keuangan dunia, sehingga bank federal Rusia tak bisa mengakses cadangan mata uang negara itu.

Kurs dolar pada rubel naik 41,50 persen pada rekor 119,00 per dolar, di perdagangan Asia, sementara pada Februari ini, dolar naik 53,77 persen versus rubel.

Namun, sejak Putin mengklaim sudah membayar dua surat utang internasional yang jatuh tempo awal Mei 2022 dan 2024, rubel bangkit menguat terhadap dolar AS menyentuh level tertingginya dalam dua tahun terakhir.

Sebagai perbandingan, US$1 dapat membeli sekitar 68 rubel pada Jumat kemarin, kurang dari setengah jumlah yang dapat dibeli pada awal Maret. Pada puncaknya pada 7 Maret, rubel diperdagangkan pada 135 per US$1.

(tdh/agt)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK