Huda mengatakan kebijakan larangan ekspor mutlak mendapatkan dukungan dari kebijakan lain. Misalnya, memastikan para pengusaha benar-benar menaati larangan ekspor.
Artinya, tidak ada yang curi-curi celah untuk tetap mengekspor dan tidak memasok CPO-nya ke pasar dalam negeri. Kebijakan lain yang juga perlu ialah tetap memasang kebijakan harga eceran tertinggi (HET) bagi minyak goreng.
"Saat ini minyak goreng curah ada HET, namun masih sangat mahal tersedia di konsumen akhir karena tidak ada ketegasan dari pemerintah bahwa HET merupakan harga ke konsumen akhir, bukan dari produsen ke pengecer," tegas Huda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, menurutnya, HET juga perlu dipasang ke minyak goreng kemasan premium. Tujuannya, agar tidak ada pengemasan ulang bagi minyak goreng curah ke premium. "Jadi tidak ada insentif bagi pelaku pengepakan seperti ini," ucapnya.
Kemudian, pemerintah harus menelusuri pos rantai pasok mana yang membuat harga minyak goreng jadi mahal. Apakah sudah dari produsen atau karena distributornya terlalu banyak? "Kalau perlu, pedagang besar dan pengecer juga ikut diawasi," tekannya.
Sepakat, Khudori juga menilai implementasi kebijakan HET perlu diawasi dengan ketat. Selain itu, pemerintah juga perlu mengawasi agar tidak ada distributor-distributor dadakan yang menambah panjang rantai distribusi minyak goreng yang menambah tinggi harganya di pasar.
Yang tak kalah penting adalah memastikan tidak ada pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, di mana mereka mencoba mencari untung dengan menyulap minyak goreng curah jadi minyak goreng dalam kemasan.
"Karena ini sangat mungkin menciptakan disparitas baru terhadap harga. Karena harga minyak goreng kemasan Rp25 ribu per liter, curah Rp15 ribu, jadi mereka bisa diam-diam untung Rp10 ribu dengan penyelewengan ini, dengan minyak oplosan ini," pungkasnya.