Teriak Petani Sawit Tertekan Kebijakan Jokowi Larang Ekspor CPO
Sejumlah petani sawit mengeluh usai Jokowi melarang ekspor CPO dan minyak goreng. Maklum, larangan turut berdampak pada periuk nasi mereka.
Petani sawit asal Jambi yang bernama Haji Iskandar (65) misalnya, bercerita semenjak larangan ekspor diberlakukan Jokowi pada Kamis (28/4) lalu, tangki di pabrik banyak yang penuh. Kondisi itu membuat pabrik tak mau lagi membeli sawit petani.
Akibatnya, sawitnya dan petani lain tidak dipanen karena tidak ada yang menyerap. Akhirnya, sawit itu rusak.
"Saya sudah dua minggu tidak panen. Saya satu kali panen 30 ton, sudah rusak sekitar 50 persen. Itu kalau tidak dibeli minggu ini, nanti bertambah lagi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan selama 25 tahun bekerja sebagai pengurus perkebunan sawit di Jambi, baru sekarang petani merasakan hasil panennya tidak laku sama sekali di pasaran. Dan semua katanya, terjadi semenjak keran ekspor CPO ditutup Jokowi.
"Baru kali ini, dulu harga pernah Rp1.000 tapi dibeli tapi sekarang sudah tidak dibeli lagi," katanya.
Nasib pedih tak hanya dialami oleh Iskandar. Ketua APKASINDO Bangka Belitung Jamaluddin (46) menyebut nasib pedih juga dialami petani sawit lainnya di daerahnya. Menurutnya sudah sekitar ratusan ton kelapa sawit di Belitung yang rusak akibat tidak dibeli oleh pabrik akibat larangan ekspor CPO yang diberlakukan Jokowi.
"Di Belitung itu mencapai ratusan ton yang sudah rusak. Karena sudah satu bulan enggak dibeli," sebutnya.
Di Kota Tanjung Pandan, Bangka Belitung, ia mengatakan kelapa sawit sudah tidak laku di pasaran selama dua minggu terakhir.
"Ditolak pabrik karena tangkinya penuh, kalau di Kabupaten Bangka belum penuh. Tapi di Belitung Timur sudah dua minggu penuh," kata Jamaluddin.
Sementara itu Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung mengatakan larangan ekspor yang diberlakukan Jokowi demi mengatasi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng memang telah merugikan petani.
Data yang dihimpunnya bahkan menunjukkan kerugian petani sawit akibat kebijakan itu tembus Rp11,4 triliun. Kerugian terjadi karena hasil panen petani.
"Kerugiannya cukup banyak kalau kami hitung setelah 20 hari yang lalu, kami sudah rugi Rp11,4 triliun. Ini jumlah yang tidak sedikit ya bagi Indonesia," katanya.
Atas kerugian itulah, petani sawit pada Selasa ini menggelar aksi unjuk rasa guna menuntut Jokowi meninjau ulang kebijakan tersebut. Setidaknya ada 5 tuntutan yang mereka ajukan dalam aksi tersebut.
Berikut rinciannya:
1. Menyampaikan aspirasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya melindungi 16 juta petani sebagai dampak turunnya harga TBS sawit sebesar 70 persen di 22 provinsi sawit.
2. Meminta Presiden Jokowi untuk meninjau ulang kebijakan larangan ekspor sawit dan produk minyak goreng sawit (MGS) serta bahan bakunya karena dampaknya langsung ke harga TBS sawit.
3. Meminta Presiden Jokowi tidak hanya mensubsidi MGS curah, tapi juga MGS kemasan sederhana (MGS Gotong Royong) dan untuk menjaga jangan sampai gagal, APKASINDO meminta memperkokoh jaringan distribusi minyak goreng sawit, terkhusus yang bersubsidi dengan melibatkan aparat TNI-Polri.
4. Pemerintah harus segera membuat regulasi yang mempertegas PKS dan Pabrik MGS harus 30 persen dikelola oleh koperasi untuk kebutuhan domestik. Ini dimaksudkan agar urusan ekspor diurus oleh perusahaan besar, sehingga kelangkaan MGS tidak bersifat musiman.
5. Meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan Menteri Pertanian supaya merevisi Permentan 01/2018 tentang Tataniaga TBS (Penetapan Harga TBS).
Pasalnya, harga TBS yang diatur dalam Permentan tersebut hanya ditujukan untuk petani yang bermitra dengan perusahaan. Padahal, petani yang bermitra hanya 7 persen dari total luas perkebunan sawit rakyat sekitar 6,72 juta hektar. Sementara, 93 persen sisanya yang merupakan petani swadaya terabaikan.