Presiden Jokowi resmi mencabut larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng pada Senin (23/5). Kebijakan itu diambil setelah pemerintah menilai pasokan minyak goreng curah mencukupi, harganya pun diklaim mulai turun.
Ia menyebut kebutuhan minyak goreng curah nasional mencapai 194 ribu ton per bulan. Sebelum larangan ekspor diberlakukan, pasokannya cuma 64 ribu ton per bulan. Namun, setelah larangan ekspor diterapkan, pasokannya melimpah menjadi 211 ribu ton per bulan.
"Itu sudah melebihi kebutuhan nasional kita," ujar Jokowi pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pasokan yang melimpah, Jokowi juga mengklaim harga minyak goreng berhasil ditekan. Sebelum larangan ekspor, harga minyak goreng curah rata-rata Rp19.800. Kini, harganya turun jadi Rp17.200 hingga Rp17.600 per liter.
Padahal, sekadar mengingatkan, larangan ekspor belum ampuh menurunkan harga minyak goreng curah di pasar sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), sesuai target awal pemerintah. HET minyak goreng curah adalah Rp14 ribu per liter atau Rp15.500 per kilogram (kg).
Kenyataannya, harga minyak goreng curah masih di atas HET, larangan ekspor CPO sudah dicabut. Di beberapa daerah, misalnya Medan, Sumatera Utara, harga minyak goreng curah masih di kisaran Rp15 ribu-Rp16 ribu per liter. Sedangkan, kemasan dibanderol Rp25 ribu per liter.
Dengan kondisi demikian, yakin dapur emak-emak masih akan tetap ngebul menggoreng-goreng makanan, tahu tempe misalnya? Atau kepulan asap dari kegiatan menggoreng jadi semakin langka, tergantikan dengan metode kukus, merebus, dan memanggang?
Peneliti Indef Nailul Huda mengakui nasib penggorengan emak-emak di dapur memang sangat bergantung dari upaya pemerintah menurunkan harga minyak goreng.
Ia berpendapat saat ini harga minyak goreng masih mahal yang disebabkan oleh, pertama, harga CPO di pasar internasional. Menurut dia, harga CPO global masih sangat tinggi yang membuat harga keekonomian minyak goreng berada di level Rp20 ribu per liter.
Kedua, permintaan minyak goreng pun masih tinggi ketika pemerintah menerapkan HET yang membuat harga komoditas tersebut melonjak hingga selisih Rp5.000 per liter, bahkan setelah HET dicabut.
Karenanya, Nailul menilai yang terjadi saat ini adalah harga keekonomian ditambah harga kartel yang timbul akibat ulah produsen menahan barang ketika keluar kebijakan HET.
"Makanya masalah kartel ini yang menjadi masalah dasar harga minyak goreng tinggi. Harganya bisa turun ketika masalah kartel bisa diatasi," terang dia.
Diketahui, walaupun larangan ekspor telah dicabut, pemerintah menetapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk CPO dan produk turunannya.
DMO dan DPO ini, kata Nailul, memang lebih efektif dalam menurunkan harga minyak goreng daripada melarang ekspor CPO. Namun demikian, pelaksanaan kebijakan tetap harus dikawal secara ketat.
"Belajar dari kasus korupsi kemarin, saya rasa pemerintah seharusnya sudah antisipasi kebijakan DMO dan DPO," tegas Nailul.