Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengisyaratkan kembali memungut pajak impor alat kesehatan (alkes) di tengah penurunan kasus covid-19 di dalam negeri.
"Dilihat dari sisi pemanfaatan volume dan nilai impornya, signifikan turun, tentu insentif fiskalnya juga menurun," terang Direktur Fasilitas Kepabeanan Bea Cukai Untung Basuki kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/6).
Meski demikian, Untung tidak menegaskan insentif fiskal yang dimaksud akan dihapus atau dikurangi. Menurutnya, impor fasilitas alkes biasanya sejalan dengan kasus covid-19. Dengan kata lain, jika kasusnya menurun, maka jumlah barang yang diimpor juga berkurang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun regulasi pembebasan bea masuk dan/atau cukai serta pajak atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi covid-19 yang saat ini masih berlaku tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 92/PMK.04/2011 tentang Perubahan Ketiga atas PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Covid-19.
Saat ini, Untung mengaku masih melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap aturan tersebut. Di sisi lain, ia memastikan bahwa kementerian akan berupaya untuk mendorong industri penyedia alkes dan obat-obatan dalam negeri agar dapat mengurangi impor.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengakui memang upaya untuk mendorong industri penyedia alkes dan obat-obatan dalam negeri perlu dilakukan seiring dengan wacana pemberlakuan kembali pajak impor alkes.
Jika tidak, pemberlakuan kembali pajak impor hanya akan membuat harga alkes melambung. "Kalau alkes merupakan barang pokok dan tidak ada substitusi dari produsen lokal, maka harganya akan naik," ungkapnya.
Lihat Juga : |
Menurut dia, produsen dalam negeri harus mampu menutupi kekosongan alkes dari pemasok luar, sehingga bisa menekan biaya impor dan harga barang yang lebih tinggi. Dengan begitu. harga alkes relatif tetap. Bahkan, bisa lebih murah karena biaya produksi dalam negeri lebih terjangkau.
Masalahnya, apakah semua produk impor itu sudah bisa diproduksi dalam negeri?
Diketahui, Indonesia mengimpor 20 jenis alkes tiap tahunnya, mencakup pembersih tangan (hand sanitizer), alat tes PCR, ventilator, virus transfer media, masker hingga alat pelindung tenaga kesehatan lainnya, seperti sarung tangan dan face shield.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang tahun lalu, Indonesia mengimpor sekitar 8.010 ton alat tes PCR dari luar negeri, 51.169 ton masker, dan 1.151 ton ventilator.
Secara keseluruhan, Indonesia mengimpor sekitar 1.001.679 ton alkes dari luar negeri selama 2021.
Melihat data tersebut, Tauhid menilai produsen alkes dalam negeri belum mampu menutupi impor barang-barang tersebut di atas. Karena itu, wacana mengembalikan pungutan pajak impor alkes dinilai belum tepat dilakukan dalam waktu dekat.
Pemerintah sebaiknya memberlakukan wacana tersebut secara bertahap sampai industri dalam negeri siap. Paling tidak, pemberlakuan kembali pajak impor alkes cukup pada jenis-jenis yang produksinya masih bisa tertutupi oleh produsen lokal.
"Kalau jenis barang itu tidak ada, maka harus dipertimbangkan pajak impornya jangan besar dulu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Tauhid menerangkan pengenaan kembali pajak impor alkes memang bisa mengembalikan potensi pendapatan negara yang 'hilang'.
Melansir APBN Kita, total fasilitas fiskal atau insentif impor yang diberikan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk alkes dan vaksin sepanjang 2021 mencapai Rp8,16 triliun.
Dengan rincian bea masuk sebesar Rp2,22 triliun, pajak pertambahan nilai (PPN) impor sebesar Rp4,38 triliun, dan pajak penghasilan (PPh) impor Rp 1,55 triliun.
Fasilitas ini diberikan pada barang-barang impor yang nilai totalnya mencapai Rp43,85 triliun.
Meski demikian, pemerintah tidak bisa serta-merta fokus pada pendapatan saja. Pemerintah perlu melakukan koordinasi dengan para pemangku kepentingan, mengingat pandemi covid belum sepenuhnya berakhir.
"Jangan hanya kepentingan keuangan. Koordinasi, tanya dulu Kementerian Perindustrian, lalu kalangan swasta, semua dari hulu ke hilir, apakah memang target pemerintah melakukan substitusi impor sudah berlangsung atau belum?"
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan pengenaan kembali pajak untuk impor alkes dan imbasnya terhadap harga barang-barang tersebut sebenarnya bergantung dari permintaan itu sendiri.
Dengan menggunakan asumsi lebih rendahnya kasus covid-19 yang saat ini terjadi, maka seharusnya permintaan terhadap produk alkes relatif kecil. Di saat bersamaan pemerintah juga tentu harus memastikan bahwa pasokan mencukupi apabila terjadi peningkatan kasus dalam waktu singkat.
"Sehingga potensi peningkatan harga menjadi sangat tinggi itu relatif kecil untuk terjadi," kata Yusuf.
Memang, ada peluang harga akan kembali ke level sebelum pandemi, namun ini adalah konsekuensi yang memang harus terjadi jika pemerintah menempuh kebijakan menarik insentif pajak impor alkes.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan keleluasaan atau fleksibilitas terhadap kebijakan tersebut. Artinya, ketika terjadi kenaikan kasus kembali, baik itu yang disebabkan oleh pandemi covid-19 ataupun jenis varian penyakit lainnya, pemerintah harus secara sigap memberikan kembali insentif pajak impor untuk menjamin harga alkes murah dan dapat diakses oleh masyarakat luas.
Yusuf mengatakan fungsi pajak impor memang ada beberapa. Salah satunya, menyumbang penerimaan negara, baik itu melalui PPN dan PPh impor ataupun melalui bea masuk.
Namun, di luar itu fungsi dari pajak impor adalah melindungi produsen di dalam negeri agar bisa tetap bersaing dengan produk-produk dari luar. "Dengan bersaingnya harga untuk produk tertentu, dalam konteks ini alkes, tentu masyarakat akan mendapatkan harga terbaik untuk alkes yang terjangkau secara luas oleh masyarakat," tandasnya.