Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap betapa bergejolaknya harga minyak selama pandemi covid-19. Harganya pernah berada di titik minus hingga saat ini menembus US$100 per barel.
Menurutnya, seluruh kegiatan produksi terhenti pada awal covid-19 masuk hingga ditetapkan sebagai pandemi. Hal ini mengakibatkan harga minyak turun drastis karena stok berlimpah namun tidak ada permintaan.
"April 2020 harga minyak sempat negatif, enggak ada harganya. Sudah muncrat-muncrat di berbagai sumur di dunia enggak ada yang beli. Waktu itu karena kita sedang pandemi," ujarnya dalam Rapat DPD RI, Selasa (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga minyak yang murah ini juga sempat membuat pemerintah mendorong PT Pertamina (Persero) untuk melakukan pembelian. Namun, tak dapat dilakukan karena stok minyak perusahaan pelat merah itu juga berlimpah.
"Semua tangkinya (Pertamina) sudah penuh. Jadi memang tidak ada yang mau dibeli, karena demand tidak ada waktu itu. Seluruh dunia berhenti kegiatan ekonominya, maka minyak yang diproduksi tidak ada yang beli, makanya orang tidak bisa switch off produksi, makanya dua hari negatif," kata dia.
Namun, kondisi langsung berbalik di tahun ini terutama karena dampak perang antara Rusia dan Ukraina. Harga minyak naik tajam melebihi yang ditetapkan di APBN sehingga membuat subsidi ikut melonjak.
"Dua hari negatif (harga minyak) lalu kembali ke US$20, US$30, US$60, US$80, US$100, US$120 (per barel) sekarang. Ini menggambarkan betapa dalam dua tahun range minus sampai US$120 itu bisa terjadi," terangnya.
Saat ini, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Agustus turun tipis 0,2 persen menjadi US$119 per barel setelah menyentuh level US$121,95 per barel.
Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Juli melorot 0,3 persen menjadi US$118,50 per barel setelah bertengger di posisi US$120,99.