Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Widi Amanasto buka suara terkait keharusan membayar uang komitmen (commitment fee) penyelenggaraan Formula E sebesar 5 juta poundsterling atau setara Rp90,7 miliar.
Widi mengatakan sejak awal ketentuan soal pembayaran itu sudah tertuang dalam negosiasi ulang bersama pihak Formula E Operation.
"Dari dulu, kan 12 (juta poundsterling). Per tahunnya, 12 juta poundsterling, udah dari awal," kata Widi saat ditemui di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (21/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Widi, hasil renegosiasi tersebut menyatakan Jakpro memiliki kewajiban membayar commitment fee 12 juta poundsterling per tahun. Artinya, total commitment fee untuk 3 musim yang harus dilunasi sebesar 36 juta poundsterling.
Sementara, Pemprov DKI baru membayar 31 juta poundsterling atau sebesar Rp560 miliar. Dengan demikian, Jakpro masih harus membayar sisa kewajiban sebesar 5 juta poundsterling atau sekitar Rp90,7 miliar.
"Itu yang sudah dibayarkan jadi tiga tahun, kan per tahunnya 12 juta poundsterling. Dinego, dari 20 (juta poundsterling) sekian, jadi 12 (juta poundsterling), tapi sisanya nanti" ungkapnya.
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebelumnya mengungkapkan bahwa Jakpro masih harus membayar commitment fee penyelenggaraan Formula E sebesar 5 juta poundsterling atau setara Rp90,7 miliar.
Ketua Fraksi PSI Anggara Wicitra Sastroamidjojo mengatakan pembayaran biaya komitmen Rp90,7 miliar itu untuk pelaksanaan Formula E tiga tahun ke depan. Padahal, Jakpro sempat menyatakan hasil renegosiasi terakhir pembayaran commitment fee untuk tiga tahun adalah sebesar Rp 560 miliar.
"Ada rekam jejak digitalnya PT Jakpro pernah menyatakan commitment fee untuk tiga tahun adalah Rp560 miliar, sekarang faktanya harus bayar Rp90,7 miliar lagi," ungkap Anggara.
Menurut Anggara temuan tersebut berasal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2021.
Anggara mengatakan hal ini sangat riskan mengingat belum tentu Jakpro belum bisa membayar, karena tahun 2019 dan 2020 mereka rugi. Ia menilai hal ini justru akan berisiko bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan apabila Formula E seri berikutnya dilanjutkan.
"Berbagai ketidakjelasan ini yang menurut saya akan beresiko bagi Pj Gubernur DKI nanti kalau tetap melanjutkan Formula E. Bisa-bisa terjebak dengan gelapnya program Formula E," ungkap Anggara.
Anggara juga menyoroti masalah revisi studi kelayakan yang sampai sekarang belum diterima DPRD. Padahal dalam LHP BPK dikatakan dokumen tersebut sudah ada.
Menurut Anggara, DPRD sudah meminta studi kelayakan Formula E dari tahun lalu. Padahal, dari situ bisa diketahui perhitungan untung rugi dan dampak ekonomi dalam kondisi pandemi.
Ia juga menyinggung tanpa transparansi studi kelayakan, perhitungan pengeluaran tidak akan jelas.
"Contohnya saat membangun sirkuit beberapa kali angkanya berubah, jumlah penonton juga akhirnya berubah dari yang direncanakan. Ini kan bukan acara amatir jadi harus jelas semuanya," papar Anggara.
Anggara menilai indikator program berhasil bukan cuma kemeriahan pada hari pelaksanaan, tetapi bagaimana eksekusi sesuai dengan perencanaan.
(dmi/sfr)