Karut marut bahan pangan menghantui lonjakan inflasi. Setelah kenaikan harga minyak goreng selama berbulan-bulan lamanya, kali ini ekonomi nasional dibayangi kenaikan harga pangan.
Kenaikan harga pangan terjadi mulai dari harga cabai, bawang putih dan bawang merah, telur, daging ayam, hingga daging sapi.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com pada Selasa (5/7), di Pasar Ciracas, Jakarta Timur, harga cabai rawit merah menyentuh Rp120 ribu per kilogram (kg). Padahal, harga komoditas ini normalnya hanya Rp40 ribu per kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian di Pasar Senen, Jakarta Pusat, harga cabai rawit merah menyentuh Rp95 ribu per kg. Harga yang sama juga berlaku untuk cabai merah keriting.
Saat berbincang dengan pedagang, mereka mengklaim kenaikan cabai utamanya disebabkan kurangnya pasokan dari petani, sehingga stok yang dimiliki terbatas.
"Harga naik karena pasokan dari petani gak ada," ungkap Desi (40) pedagang di pasar Ciracas.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada pekan lalu pun melaporkan stok cabai rawit merah dan bawang sedang defisit, sehingga harganya melonjak di pasar.
"Jadi kalau dilihat di Pasar Kramat Jati dari kebutuhan 30 ton sampai 32 ton (cabai), itu kami hanya bisa kirimkan 3 ton sampai 5 ton saja setiap hari," kata Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi pada konferensi pers, Kamis (30/6) lalu.
Kondisi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan ini pun mengakibatkan lonjakan inflasi di dalam negeri. Bahkan, melampaui level yang ditetapkan pemerintah sebesar 2-4 persen pada APBN 2022.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono pun mengungkapkan lonjakan harga cabai rawit menjadi salah satu pendorong utama inflasi Juni 2022 yang tembus 4,35 persen (year on year/yoy). Realisasi inflasi pun tercatat tertinggi sejak Juni 2017.
"Penyumbang inflasi pada Juni berasal dari komoditas cabai merah, cabai rawit, bawang merah dan telur ayam ras," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (1/7).
Padahal sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkapkan bawah stok bahan pangan banyak dan aman. Sayangnya, data di lapangan tidak sejalan dengan klaim tersebut.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet melihat kenaikan harga bahan pokok utamanya disebabkan oleh terganggunya rantai pasok dari berbagai wilayah sentra cabai.
"Saya kira pengaruh rantai pasok menjadi penting untuk penentuan harga suatu barang. Artinya, ketika rantai pasoknya terganggu, maka distribusi akan berkurang. Distribusi akan berkurang, sementara di sisi lain permintaan itu tetap terjadi, maka secara otomatis itu akan meningkatkan harga," ujarnya, Selasa (5/7).
Ia mencontohkan gangguan alur rantai pasok ini juga sebelumnya terjadi pada minyak goreng, sehingga harganya melonjak tajam. Pasalnya, permintaan minyak goreng tetap tinggi di tengah kelangkaan pasokan.
"Setelah distribusi yang terganggu tetapi permintaannya masih tetap tinggi ini yang kemudian bermuara terhadap harga yang pada saat itu ikut meningkat cukup signifikan. Saya kira, dengan konteks cabai pun relatif sama," terang dia.
Tentunya kondisi ini mempengaruhi tingkat inflasi dalam negeri yang bergerak ke level di atas 4 persen pada Juni lalu dan tidak menutup kemungkinan kembali tinggi pada Juli 2022. Artinya, ia melihat bahwa gangguan rantai pasok sangat mempengaruhi inflasi karena otomatis harga-harga naik.
Kondisi ini dinilai bisa mengganggu proses pemulihan ekonomi ke depannya jika tidak segera dikendalikan. Walaupun, sampai sejauh ini ia melihat bahwa kenaikan inflasi belum akan membawa Indonesia sampai ke jurang resesi karena fundamental perekonomian dalam negeri yang masih cukup baik.
"Kalau melihat dari berbagai indikator utama perekonomian setidaknya sampai dengan Juni, saya melihatnya belum ada kemudian tanda ekonomi Indonesia akan berada pada fase resesi. Memang, betul bahwa inflasi mengalami kenaikan yang cukup signifikan, namun kenaikan ini masih berada pada range target inflasi yang ditentukan oleh pemerintah," jelasnya.
Beberapa indikator perekonomian yang tumbuh positif hingga semester I-2022 adalah neraca dagang yang masih mencatatkan surplus, investasi yang mulai meningkat, termasuk PMI manufaktur yang berdaya tahan.
Namun, jika kinerja berbagai indikator perekonomian yang positif ini tidak dijaga dengan baik dan harga tidak dikendalikan, maka ke depan tidak menutup kemungkinan Indonesia bisa mengalami resesi.
"Dalam ekonomi tidak ada yang kemudian sangat pasti, potensi untuk terjadinya resesi di semua negara bisa saja terjadi. Apalagi, kalau kondisi perekonomian global berubah sangat drastis dalam periode yang sangat singkat, maka dari itu tentu langkah mitigasi masih tetap perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah kalau seandainya memang kondisi makin memburuk," jelasnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga mengatakan kenaikan harga sejumlah bahan pangan, terutama cabai, tidak semata karena cuaca. Tapi juga faktor lainnya, yakni masih panjangnya rantai distribusi.
Menurutnya, masalah rantai pasok yang panjang ini sudah ada sejak lama. Jika dikatakan kenaikan harga bahan pokok akan menguntungkan petani, ia menyebut tidak lah benar.
"Masalah distribusi ini sepertinya ada pembiaran dari pemerintah karena masalah yang sama terus terjadi, dimana pada saat kenaikan harga di level konsumen, yang menikmati bukan petani. Apalagi, petani merasakan naiknya harga pupuk dan input produksi," jelas Bhima.
Hal ini sama dengan kasus minyak goreng yang harganya sulit untuk turun di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET). Sebab, rantai distribusinya bisa lebih panjang dari produk pangan lainnya.
"Jadi rantai pasok ini menjadi masalah yang harus dipecahkan. Perlu intervensi melalui kerja sama BUMD dan BUMN langsung tanpa melalui perantara, sehingga tak banyak margin yang bisa dinikmati spekulan. Artinya, pemda perlu proaktif, sehingga tak perlu khawatir dimainkan pedagang nakal," imbuhnya.
Bhima juga menilai jika masalah ini terus berlarut, maka Indonesia bisa mengalami krisis pangan seperti negara lainnya. Salah satunya Sri Lanka, yang paling mencolok dan India yang melakukan proteksi.
"Bukan tidak mungkin dengan global food security index Indonesia yang berada di posisi 69 di antara negara lain, bahkan lebih rendah daripada Malaysia, Vietnam dan Singapura, maka harus jadi warning (peringatan) bahwa krisis pangan bisa melemahkan pemulihan ekonomi, menurunkan konsumsi rumah tangga, dan berpengaruh terhadap durable goods," jelasnya.
"Kalau orang fokus untuk mengamankan konsumsi atau kebutuhan pokok yang primer, maka ia akan mengurangi pembelian kebutuhan yang sifatnya sekunder. Ini bisa membuat penjualan di sektor tersier dan sekunder turun dan memicu risiko stagflasi di dalam negeri," lanjut Bhima menutup.